Materi Moderasi Beragama
Pengantar
Mahasiswa merupakan eksponen perubahan bangsa. Mahasiswa juga sekaligus menjadi penopang keberlanjutan proses pembangunan bangsa Indonesia. Terlepas dari dinamika historis dan kontemporer mahasiswa di Indonesia, secara substansi mahasiswa adalah generasi yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa.
Dengan tugas dan tanggungjawab yang begitu penting, mahasiswa dituntut untuk memiliki seperangkat pengetahuan sebagai bekal dalam menjalankan tugas dan fungsinya, baik sebagai mahasiswa maupun sesudah selesai menjadi mahasiswa dan berkecimpung dalam realitas sosial masyarakat. Salah satu yang bekal yang perlu disiapkan adalah pengetahuan tentang moderasi beragama.
Sebagaimana diketahui, yang pernah dikemukakakn Asep Thomas Siregar bahwa moderasi dalam hal agama dikenal dengan konsepsi yang dapat membangun sikap toleran dan rukun agama guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai eksponen bangsa, mahasiswa tentu saja harus memahami betul moderasi beragama.
Pada Rabu, 22 September 2021 Mendikbud Nadiem Makarim juga pernah menjelaskan dalam kegiatan bertajuk Launcing Program Moderasi Beragama dalam Dunia Pendidikan, di mana kurikulum moderasi beragama dalam pendidikan tersebut disusun bersama Kementerian Agama. Dalam pembahasan moderasi bergama dunia pendidikan, yang menjadi sasarannya adalah para tenaga pendidik dan peserta didik.
Tujuan adanaya moderasi dalam dunia pendidikan ini adalah untuk mencegah atau mengurangi tiga dosa di dunia pendidikan. Pertama intoleransi. Dua, perundungan dan tiga, kekerasan seksual.
Sebelumnya, lembaga riset Setara Intitute mencatat, sejak 2012 hingga 2019, terjadi 41 tindakan intoleran terhadap pelajar. Di antaranya pada 2017, ada siswi nonmuslim berinisial NWA yang diharuskan memakai jilbab dan mengikuti kegiatan keagamaan di SMP Negeri 3 Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur.
Lalu pada 2019, ada sejumlah orang tua murid yang memprotes SD Inpres 22 Manokwari, karena menerapkan aturan larangan siswi muslim memakai jilbab, saat belajar di kelas. Hingga tahun ini, kasus-kasus intoleran masih kerap terjadi di sekolah.
Dalam memandang moderasi beragama di Indonesia, setidaknya ada 4 indikator sebagai kunci melihat dinamika perkembangan dan sejauh mana moderasi beragama terinternalisasi dalam realitas masyarakat Indonesia.
Pertama, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan terhadap tradisi. Akan tetapi akan dijelaskan terlebih dahulu moderasi beragama secara konseptual.
Konsepsi Moderasi Beragama
Pengertian dan Batasan Moderasi Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman.
Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak).
Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara.
Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”.
Apa pun kata yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem.
Kata wasith bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata 'wasit' yang memiliki tiga pengertian, yaitu: 1) penengah, perantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis); 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih; dan 3) pemimpin di pertandingan.
Menurut para pakar bahasa Arab, kata wasath itu juga memiliki arti “segala yang baik sesuai dengan objeknya”. Misalnya, kata “dermawan”, yang berarti sikap di antara kikir dan boros, atau kata “pemberani”, yang berarti sikap di antara penakut (al-jubn) dan nekad (tahawur), dan masih banyak lagi contoh lainnya dalam bahasa Arab.
Adapun lawan kata moderasi adalah berlebihan, atau tatharruf dalam bahasa Arab, yang mengandung makna extreme, radical, dan excessive dalam bahasa Inggris. Kata extreme juga bisa berarti “berbuat keterlaluan, pergi dari ujung ke ujung, berbalik memutar, mengambil tindakan/ jalan yang sebaliknya”.
Dalam KBBI, kata ekstrem didefinisikan sebagai “paling ujung, paling tinggi, dan paling keras”. Dalam bahasa Arab, setidaknya ada dua kata yang maknanya sama dengan kata extreme, yaitu al-guluw, dan tasyaddud.
Meski kata tasyaddud secara harfiyah tidak disebut dalam Alquran, namun turunannya dapat ditemukan dalam bentuk kata lain, misalnya kata syadid, syidad, dan asyadd.
Ketiga kata ini memang sebatas menunjuk kepada kata dasarnya saja, yang berarti keras dan tegas, tidak ada satu pun dari ketiganya yang dapat dipersepsikan sebagai terjemahan dari extreme atau tasyaddud.
Dalam konteks beragama, pengertian “berlebihan” ini dapat diterapkan untuk merujuk pada orang yang bersikap ekstrem, serta melebihi batas dan ketentuan syariat agama.
Kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem (centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah.
Meminjam analogi ini, dalam konteks beragama, sikap moderat dengan demikian adalah pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku di tengah-tengah di antara pilihan ekstrem yang ada, sedangkan ekstremisme beragama adalah cara pandang, sikap, dan perilaku melebihi batas-batas moderasi dalam pemahaman dan praktik beragama.
Karenanya, moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama.
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan.
Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan.
Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran.
Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara pandang, sikap, dan komitmen untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan persamaan. Kecenderungan untuk bersikap seimbang bukan berarti tidak punya pendapat.
Mereka yang punya sikap seimbang berarti tegas, tetapi tidak keras karena selalu berpihak kepada keadilan, hanya saja keberpihakannya itu tidak sampai merampas hak orang lain sehingga merugikan. Keseimbangan dapat dianggap sebagai satu bentuk cara pandang untuk mengerjakan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan dan juga tidak kurang, tidak konservatif dan juga tidak liberal.
Mohammad Hashim Kamali (2015) menjelaskan bahwa prinsip keseimbangan (balance) dan adil (justice) dalam konsep moderasi (wasathiyah) berarti bahwa dalam beragama, seseorang tidak boleh ekstrem pada pandangannya, melainkan harus selalu mencari titik temu. Bagi Kamali, wasathiyah merupakan aspek penting dalam Islam yang acapkali dilupakan oleh umatnya, padahal, wasathiyah merupakan esensi ajaran Islam.
Moderasi bukan hanya diajarkan oleh Islam, tapi juga agama lain. Lebih jauh, moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga dan masyarakat hingga hubungan antarmanusia yang lebih luas.
***
Post a Comment