Oleh Khasbi
Saya tidak melihat apakah isu agama menjadi hal digoreng oleh orang-orang untuk bisa mendapatkan sense of knowledge atau hanya sekedar mendiskursus isu lain yang kebetulan sedang naik.
Dan boleh jadi, isu agama selalu menjadi hal yang menarik untuk dijadikan batu pijakan mengalihkan perhatian masyarakat terhadap sesuatu.
Komentar terhadap "toa" memang sudah banyak berkembang di sana sini. Pastilah muncul pro dan kontra. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya.
Bahkan, lebih mirisnya banyak istilah "sarkas" muncul untuk menyebut dan menjustifikasi tokoh menteri agama. Hal yang sebenarnya "mungkin" tidak diperlukan dalam diskursus "toa" di Indonesia yang sudah modern ini.
Unsur rasionalitas seharusnya menjadi hal yang lebih diutamakan dibandingkan hanya sekedar "sarkasme" yang dilabelkan kepada tokoh tertentu. Atau bahkan, jika bisa "menelaah" secara ilmiah ucapan dan diskursus yang sedang berkembang sehingga tak meninggalkan upaya-upaya penggalian dan penyelidikan yang biasa dilakukan oleh manusia.
Sudahlah, semua itu telah terjadi dan ya mau bagaimana lagi. Orang memang mudah tersulut emosinya jika apa yang dimilikinya disentuh, direndahkan, dicaci atau bahkan dianggap remeh oleh orang lain.
Ngomong-ngomong, soal toa di masjid atau musholla itu hal yang baru menurut saya. Dulu zaman Rasulullah tak ada alat pengeras suara seperti itu. Bilal bin Rabah yang langsung menyuarakan "panggilan sholat" (baca: adzan) di atas Ka'bah.
Dulu, sebelum ada toa, muslim Nusantara (baca: Jawa) menggunakan bedug untuk menandai waktu sholat. Sebelum benar-benar "toa" banyak digunakan, masyarakat biasa saja dan adem ayem kok.
Entah kenapa, setelah semakin berkembangnya Islam, toa justru menjadi hal yang seolah perlu digunakan untuk menyebarkan dan mendakwahkan Islam. Padahal, bukankah dengan semakin berkembangnya Islam semakin tebal juga keimanan seseorang.
Tanpa toa sekalipun, seharusnya, umat Islam datang ke masjid dan musholla untuk menjalan ibadahnya. Tapi apakah realitanya seperti itu? Sepertinya anggapan kita salah. Tak semua orang punya keimanan yang tebal dan tak semua orang, sekalipun "diundang" menggunakan "toa" dia datang ke masjid atau musholla untuk menjalan berbagai macam bentuk ibadah.
Saya justru pernah berpikir jika "penanda waktu sholat" diubah dengan notifikasi di handphone. Bukankah masyarakat sudah akrab dengan teknologi.
Memaknai Alat Pengeras Suara
Jika adzan dimaknai sebagai penanda waktu masuknya sholat bukankah sekarang sudah bisa digabungkan dengan entitas baru bernama teknologi. Bahkan, sekarang sudah tidak asing istilah adzan digital yang ada di smartphone masyarakat.
Adzan digital di smartphone biasanya akan otomatis berbunyi ketika waktu sudah mulai waktu sholat. Bahkan, sua adzan dan langgam serta karakteristiknya bisa kita pilih sesuai dengan keinginan selera telinga.
Nahdlatul Ulama sekalipun menggunakan konsep ini di aplikasinya yang bernama NU Online.
Sewaktu diskusi dengan berbagai kolega, saya pernah bertanya kenapa kalimat-kalimat yang disuarakan di adzan tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Bahkan (asumsi), dari zaman Rasulullah hingga saat ini masih "plek jiplek", dan hanya langgamnya saja yang berubah.
Selain itu, saya pernah mengkritik juga jika konsep "penanda waktu" ini tidak bisa menyesuaikan dengan zaman, maka besar kemungkinannya adalah esensinya berubah. Ia tak bisa benar-benar menjadi perangsang umat muslim untuk benar-benar "mengingat" Tuhan.
Sedangkan bagaimanapun soal toa, saya perlu berkomentar. Toa atau alat pengeras suara semacam ini bisa mempunya fungsi ganda sekaligus jika digunakan sebagai bagian dari balutan beribadah umat muslim.
Saya mungkin orang yang pernah merasakan hal itu. Fungsi pertama yaitu sebagai dakwah mengajak kepada kebaikan dan menjauhi kemungkaran dengan mengeraskan suara, tapi fungsi kedua justru kebalikannya, yaitu menjadi sumber ujub, sombong, pamer dan bermacam penyakit hati lainnya yang hanya bisa dirasakan oleh pelaku.
Sekarang begini, membaca Al-Qur'an mungkin merupakan ibadah yang mendapatkan pahala. Tetapi, bagi orang yang mendengarkan juga sama halnya mendapat pahala. Maka konsep "pengeras suara" menjadi hal yang sangat menguntungkan untuk mendulang pahala.
Lalu digunakanlah toa sebagai perpanjangan tangan untuk memperoleh dan mengais pahala secara berlipat-lipat tetapi juga dengan cara yang praktis. Iya, konsep ini saya suka dan setuju-setuju saja.
Tapi pernahkah kalian berada di posisi itu? Pernahkah kalian berada di posisi yang membaca Al-Qur'an dengan toa atau pengeras suara lainnya?
Jika kalian belum pernah saya akan ceritakan.
Bahwa ketika membaca Al-Qur'an dengan pengeras suara, sikap kehati-hatian (tajwid) kita sewaktu membaca akan benar-benar dijaga. Intinya jangan sampai salah. Kedua, jangan sampai orang lain tahu jika kita mengalami kesalahan membaca.
Berhati-hatilah sewaktu beribadah menggunakan pengeras suara. Andai saja kita lulus dari "kesalahan" seperti misalnya tajwid dan berbagai aturan lainnya dalam membaca Al-Qur'an, bukan berarti kita lolos dari apa yang disebut ujub, sombong dan pamer serta istilah lainnya.
Terkadang hati manusia serapuh kaca. Ia bisa hancur berkeping-keping jika bacaan ayat-ayat sucinya tak didengar bahkan dikritik oleh orang lain. Atau bahkan, ketika dipuja dan diberi pujian karena kefasihannya dalam membaca atau bahkan karena suara merdunya. Hati manusia senantiasa akan rapuh dan terjatuh pada kubangan "penyakit hati" bernama ujub, sombong, pamer, riya' dan lain sebagainya.
Ada hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan pengeras suara sebagai bagian dari proses ibadah dalam meraup pahala. Yaitu keteguhan hati. Niat yang tulus diimbangi dengan sensitivitas diri yang tinggi kepada orang lain.
Hal itu digunakan supaya kita tidak mudah marah ketika tak diberi apresiasi dan tidak sombong ketika dipuji.
Semoga kita termasuk orang yang bisa menjaga keteguhan hati dengan tidak menyakiti. Jangan sampai dengan pengeras suara, justru bukan orang lain dan kita yang makin mengeras keimanannya, malah semakin keras hatinya.
Post a Comment