Oleh: Muhammad Khasbi M.
Pendahuluan
Sosiologi maupun antropologi pendidikan merupakan cabang dari ilmu sosial. Ilmu ini termasuk baru, karena baru di kembangkan beberapa abad yang lalu. Ilmu sosial menjadi induk kajian untuk memahami dimensi realitas sosial; pendidikan, agama, ekonomi dll. Pendidikan merupakan dimensi realitas sosial yang urgent di dalam histori manusia.
Peran pendidikan dalam mentransfer dan mentransformasikan ilmu ibarat terowongan sejarah yang penuh emas dan berlian di setiap periode sejarahnya. Pendidikan mulai terangkat ke permukaan pada abad pertengahan yaitu tepatnya pada zaman skolastik. Nama skolastik diambil dari kata school yang berarti sekolah. Atas peran Karel Agung, nilai-nilai pendidikan yang sebelumnya tidak terwadahai dalam institusi kemudian mewujud dalam bentuk institusi yaitu sekolah-sekolah dan universitas, walaupun sekolah tersebut masih bercorak study agama. Oleh sebab itulah periode ini dinamai skolastik karena pendidikan tumbuh subur, bahkan menjalar ke seluruh daratan eropa.
Filsafat Eropa merupakan jenis budaya pemikiran yang memberikan sumbangsih terhadap berdirinya ilmu-ilmu sosial. Banyak pemikiran yang jadi cikal-bakal berdirinya ilmu sosial seperti rasionalisme, empirisme, idealisme, positivisme dan isme-isme yang lain. Seperti halnya para pemikir lain, Auguste Comte juga mempunyai filsafatnya sendiri, yaitu positivisme. Maka penting kiranya untuk menelaah pemikiran dari penggagas positivis ini. Supaya kita mafhum dengan filsafat ini, sebuah filsafat yang dikatakan sebagai cikal bakal dunia keilmiahan.
Auguste Comte dan Positivisme
Pada aliran pemikiran besar ini, sebenarnya banyak tokoh-tokoh yang termasuk pendukung dinasti pemikiran positivistik. Salah satu tokoh besar positivisme adalah Auguste Comte, yang lahir pada 17 April 1798 di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya Prancis. Nama asli Comte adalah Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, yang sewaktu kecil dia ditempa dalam pendidikan keluarga bangsawan beragama Katolik, yang kemudian pada usia 25 tahun melanjutkan studynya di Politeknik Ecole, Paris. Pada tahun 1818 Comte memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan kemudian mengambil sekolah kedokteran.
Masa depan memang sulit diprediksi, Comte dituduh sakit jiwa (1826) setelah beberapa tahun mengabdi kepada salah satu ilmuwan (Saint Simon). Filsafat Comte lah yang menjadikan dia harus di masukan dalam rumah sakit jiwa. Comte menganggap telah menemukan dirinya dengan filsafat tersebut, sehingga muncul sikap arogan, pemarah dan kejam. Sebelum Comte divonis sembuh total, Comte justru memutuskan melarikan diri dari rumah sakit jiwa tersebut, dan kemudian menetap di Paris sampai meninggal pada 5 September 1857. Salah satu karya Auguste Comte diantaranya sebagai berikut; Traite des Systemes, Traite des Sensation, dan Langue des Calculus.
Positivisme lahir dan di perkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karyanya Course de Philosophic Positive. Akar kata positivisme adalah kata ‘positif’ yang bisa diartikan dengan kenyataan-kenyataan faktual atau berdasarkan fakta-fakta. Dalam perkembangan selanjutnya, positivisme mulai memperlihatkan kerangka metodologinya. Positivisme menolak hal yang metafisikal (irasional) atau hal yang tidak bisa dibuktikan oleh akal dan empiris manusia (penyelidikan-penyelidikan).
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan itu sendiri yang menjadi objek pada dunia pendidikan—untuk di transfer dan ditransformasikan—menurut paradigma ini adalah segala yang dapat dibuktikan saja. Jika pengetahuan tidak bisa dijangkau oleh empiris manusia (indrawi)—misal; Tuhan, etika, dan seni—maka itu semua ditolak. Menurut Masykur Ali Rahman, positivisme adalah turunan dari aliran empirisisme, namun dengan pemahaman radikal. Radikal yang dimaksud adalah penolakannya terhadap hal yang metafisik atau rohani, padahal ada aliran empirisisme yang masih menerima entitas itu. Sedangkan manusia, hewan, tumbuhan, gravitasi bumi dan ilmu alam lainnya yang bisa teramati oleh indrawi dianggap sebagai objek ilmu yang benar (diterima).
Pendidikan islam yang mempercayai adanya metafisika kurang cocok jika menggunakan paradigma positivistik ini. Kendati bisa di aplikasikan, namun bisa mengakibatkan hilangnya kepercayaan terhadap Tuhan yang bersifat metafisika, sehingga esensi islam akan hilang. Paradigma ini dalam membaca pengetahuan hanya sampai pada hal yang bersifat nisbi (relatif), bukan pada hal yang bersifat hakiki yaitu Tuhan itu sendiri. Namun, melalui kebenaran nisbi lah kebenaran hakiki dapat tercapai, sehingga pendidikan islam tidak menghilangkan konsep paradigma ini begitu saja.
Dalam banyak literatur, salah satunya buku karya Dr. Hasan Basri, M.Ag., Filsafat Pendidikan Islam (2017) menyatakan bahwa dari filsafat positivisme Auguste Comte ini lah ilmu sosiologi muncul atau sering disebut fisika sosial. Walaupun penelitian-penelitian yang berbau empirisme dan sosiologi sudah pernah dilakukan oleh para pendahulunya, namun pada saat itu belum ditetapkan hukum yang jadi kesepakatan bersama, sehingga positivisme Comte ini lah yang berperan mengikat semua ilmu-ilmu pengetahuan para pendahulunya.
Hukum ilmu (etika keilmuan yang benar) yang ditawarkan oleh Comte adalah puncak kebenaran dari pengetahuan, yaitu segala sesuatu yang empirik atau bisa diteliti dan kebenaran empirik tersebut harus bersifat progresif, atau dinamis (selalu berubah). Ini menjadi nilai yang bagus bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan di era peradaban selanjutnya karena ilmu menjadi sistematis, komperhensif dan teruji kebenarannya.
Hukum Comte: Tiga Tahap Perkembangan Manusia (Evolusi Pemahaman)
Menelaah paradigma positivisme bisa di inisiasi lewat hukum perkembangan umat manusia yang ditawarkan oleh Comte. Menurutnya, fase perkembangan pengetahuan (dinamika pemahaman) manusia terbagai menjadi tiga fase besar yaitu fase teologi, metafisik, positif. Semua fase tersebut adalah dinamika yang mengakibatkan pola kehidupan selalu berganti pada setiap periodenya. Berikut penulis jelaskan ke tiga fase-fase tersebut;
1. Fase Teologis
Pada masa ini, akal budi manusia mencari kodrat dasar manusia dan mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang bersifat batiniah (sebab pertama). Singkatnya, pandangan pada masa ini mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural atau katakanlah, di balik suatu kejadian tersirat maksud tertentu. Jika menggunakan pandangan teologis, gunung meletus disebabkan oleh hal yang supernatural seperti dewa atau tuhan yang dianggap sedang marah ataupun anggapan-anggapan lain yang mengandaikan adanya mahluk selain manusia, yang lebih tinggi nilainya dari manusia.
Menurut Comte, tahap ini masih dibagi lagi menjadi tiga fase pemahaman; animisme, politeisme dan monoteisme.
a. Pemahaman animisme, menganggap benda-benda fisik memiliki jiwa, kekuatan, kehendak dan hasrat. Menurutnya, pemahaman ini adalah pemahaman yang paling primitif dan kekanak-kanakan.
b. Pemahaman politeisme, kekuatan-kekuatan di luar alam dianggap dan diproyeksikan (digambarkan) dalam rupa dewa-dewa. Jadi, para dewa lah yang mempunyai jiwa, kekuatan, kehendak, dan hasrat. Misalkan adanya dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar dan sebagainya.
c. Pemahaman monoteisme, pemahaman di luar alam mengalami puncaknya pada fase ini, di mana para dewa di padukan menjadi kekuatan yang adimanusiawi yang kemudian disebut Allah atau Tuhan. Maka pada pemahaman inilah tidak ada lagi pemahaman tentang dewa-dewa karena segala yang mempunyai kekuatan, kehendak dan hasrat hanya Allah, dalam artian lain yaitu manusia hanya memandang kepada satu tuhan saja.
2. Fase Metafisis
Fase yang disebut sebagai masa transisi dari teologi menuju positivi. Pandangan pada masa ini adalah berubahnya pemahaman yang tadinya terpusat pada adi kodrati (supernatural) menjadi pandangan pada kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang terintegrasi (berhubungan) dengan alam. Pandangan ini menganggap suatu fenomena akan, dan bisa terjadi karena hukum-hukum alam (seperti hukum kausalitas ataupun hukum lainnya). Mudahnya adalah kuasa-kuasa adikodrati (supernatural; tuhan, dewa dll) diganti dengan konsep dan prinsip yang abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’.
3. Fase Positiv
Pada fase ini manusia mulai tersadarkan bahwa upaya pengenalan/pemahaman teologis dan metafisis tidak ada gunanya. Pada masa ini manusia lebih berusaha mencari hukum-hukum yang berasal dari fakta-fakta pengamatan memakai akal dan empiris. Mudahnya, pengetahuan yang dihasilkan oleh fase positiv adalah hasil penggabungan secara komperhensif antara penalaran dengan pengamatan atau rasio dengan empiris. Pada fase ini, fakta empiris telah dianggap selesai dan mampu merepresentasikan kebenaran dari fenomena.
Positivisme mempunyai prinsip—yang membuat pengetahuan selalu berkembang—yaitu tidak diabsolutkan atau dimutlakkannya sebuah pengetahuan. Sebab pengetahuan dianggap selalu bersifat sementara, dinamis dan tidak mutlak. Prinsip ini lah yang membuat positivisme selalu terbuka dengan data-data baru untuk nantinya di tinjau kembali dan diperluas.
Menurut Comte, fase ini lah puncak tertinggi evolusi pemahaman manusia. Karena pada fase ini tidak adalagi usaha manusia untuk mencari penyebab sesuatu fenomena terjadi kecuali fakta-fakta yang sudah ada. Fakta itu haruslah bersifat empiris-rasional. Pada masa terakhir ini lah dihasilkan ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
Fase ini kemudia menjelma menjadi sebuah agama baru namun tanpa entitas teologi. Kendati tanpa teologi, positivisme (agama baru) tetap humanis dengan lebih menggunakan akal pikiran manusia. Adapun semboyan dari agama baru ini adalah ‘Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan’.
Dewasa ini, pemahaman dengan menggunakan fase teologi atau pra positivisme (ilmiah) biasanya sulit untuk di terima. Pasalnya, paradigma mereka sudah menggunakan paradigma positivisme. Contohnya, bayangkanlah kita akan menjelaskan perilaku seseorang yang bengis, egois atau antisosial. Jika kita berpandangan teologi, kita akan beranggapan bahwa perilaku seorang tersebut adalah hasil roh jahat yang ada pada dirinya, atau hasil dosa-dosanya.
Jika kita menggunakan pandangan metafisis, kita akan menganggap bahwa perilaku tersebut adalah hasil dari pelanggaran hukum alam; misal karena sudah kodrat atau wataknya. Jika menggunakan pandangan positivisme maka yang ada adalah kenapa sikap tersebut bisa muncul, karena pengaruh hubungan dengan lingkungannya.
Dalam aspek pendidikan islam, penulis tegaskan kembali bahwa setiap pemikiran manusia adalah baik. Oleh sebab itu lah, kita bisa menggunakan paradigma yang diciptakan oleh Comte ini untuk di aplikasikan di dimensi pendidikan, dengan syarat mengintegrasikan dengan esensi ajaran islam itu sendiri. Islam mengajarkan tauhid, namun islam juga mengajarkan keilmiahan. Integrasi anatara dua konsep besar itu dapat di aplikasikan dan di manifestasikan dengan mengambil nilai yang sesuai dengan nilai islam saja. Jadi, islam kemudian tidak menjadi antipati atau kolot pada produk-produk pemikiran barat, seperti positivisme ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras.
Rahman, Masykur Alif. 2013. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Yogayakarta: IRCiSoD.
Basri, Hasan. 2017. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Post a Comment