Judul dari tulisan ini mungkin terlalu 'mengerikan' bagi sejumlah masyarakat muslim di Indonesia. Tapi jangan salah, jika selama ini kita sudah terlalu sering melaksanakan tradisi halal bil halal hingga melupakan esensi dari aktivitas tersebut. Esensi dari kegiatan tradisi yang hanya ada di Indonesia ini yaitu 'saling memaafkan' dan 'mempererat tali persaudaraan'.
Tidak seperti kebanyakan orang yang memberikan kritik terhadap tradisi halal bil halal di kulitnya saja, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang mungkin bisa menjadi titik awal perubahan cara pandang terhadap tradisi halal bil halal yang sudah berjalan selama ini.
Di mana jika dilihat dalam sejarah, kendati masih banyak versi, mengatakan jika halal bil halal dimulai sebelum era orde baru, yang bisa ditarik dalam sejarah KH Wahab Hasbulloh yang memperkenalkan istilah halal bil halal dan Soekarno (1946-1948) dan atau sejarah Pangeran Sambernyawa (Keraton Surakarta).
Kritik yang hanya sampai di kulit tidak akan merubah apa-apa dalam tatanan tradisi. Apalagi, jika tradisi halal bil halal ini sudah melekat dalam relung sosiologi masyarakat. Dalam kasus tradisi halal bil halal ini sebenarnya telah banyak mengalami guncangan yang cukup besar hingga meruntuhkan sebagian kepercayaan umat muslim Indonesia terhadap kualitas dan kredibilitasnya dari tinjauan Al Quran dan hadis.
Tentu saja itu semua terjadi karena tradisi halal bil halal merupakan hasil kreativitas pemikir muslim Indonesia. Dalam pandangan kaum 'minhum' yang mengedepankan Al Quran dan hadis tanpa metodologi lain akan secara sepihak menolak tradisi ini dan lebih parah akan mengharamkan hingga membid'ahkan halal bil halal.
Halal bi Halal : Saling Memaafkan yang Hanya Setengah-Setengah
Jika tradisi halal bi halal merupakan bagian dari cara umat muslim untuk saling memaafkan satu sama lain, kenapa dalam realitasnya yang terjadi kenapa hanya orang-orang itu saja--yang notabene sudah kenal dan biasa bertemu dengan kita. Ini memang terlalu 'anyeb' bagi saya jika harus setiap tahun meminta maaf kepada sesama yang sudah mengenal kita dan sering bertemu dalam kehidupan sehari-hari.
Ada yang lebih urgen dan substansi dari pada hanya sekedar meminta maaf kepada orang yang sudah sering bertemu dengan kita sehari-hari, yaitu meminta maaaf kepada orang yang tidak pernah bertemu dengan kita--tapi kita sering menggunjing dan membicarakan keburukannya.
Jadi, konsep halal bi halal tidak hanya sekedar silaturahim kepada 'tangga teparo' atau kyai dan orang yang kita kenal dan jumpai setiap harinya, lebih dari itu, tapi meluas kepada orang atau manusia yang biasa kita gunjing dan bicarakan keburukannya. Tentu saja ini butuh waktu dan metodologi yang sedikit rumit dibanding hanya sekedar datang dan berkunjung kemudian 'macit' di rumah keluarga jauh kita mislanya.
Namun, itulah yang hendak yang bongkar dalam tradisi halal bi halal di Indonesia. Jujur saja saya mengalami kebosanan jika setiap tahun harus melakukan hal yang sama terus menerus tanpa mencoba melakukan perubahan. Andai saja misalnya, konsep yang saya tawarkan tadi bisa dilaksanakan pasti akan ada banyak kejutan di setiap hari raya.
***
Post a Comment