4 Indikator Moderasi Beragama di Indonesia



Dalam memandang moderasi beragama di Indonesia, setidaknya ada 3 indikator sebagai kunci melihat dinamika perkembangan dan sejauh mana moderasi beragama terinternalisasi dalam realitas masyarakat Indonesia. Pertama, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan terhadap tradisi. Akan tetapi akan dijelaskan terlebih dahulu moderasi beragama secara konseptual.


Komitmen Kebangsaan

Komitmen kebangsaan merupakan indikator yang sangat penting untuk melihat sejauh mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang berdampak pada kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang berlawanan dengan Pancasila, serta nasionalisme. 

Sebagai bagian dari komitmen kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam Konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya. Komitmen kebangsaan ini penting untuk dijadikan sebagai indikator moderasi beragama karena, seperti sering disampaikan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, dalam perspektif moderasi beragama, mengamalkan ajaran agama adalah sama dengan menjalankan kewajiban sebagai warga negara, sebagaimana menunaikan kewajiban sebagai warga negara adalah wujud pengamalan ajaran agama.

Toleransi

Moderasi beragama adalah proses, dan toleransi adalah hasil atau buah (outcome) dari moderasi yang diterapkan. Kata toleransi bisa diartikan kelapangan dada, dalam pengertian suka kepada siapa pun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berfikir dan berkeyakinan lain. 

Toleransi dalam konteks ini dapat dirumuskan sebagai satu sikap keterbukaan untuk mendengar pandangan yang berbeda, toleransi berfungsi secara dua arah yakni mengemukakan pandangan dan menerima pandangan dalam batas-batas tertentu namun tidak merusak keyakinan agama masing-masing. Hakikat toleransi terhadap agama-agama lain merupakan satu prasyarat yang utama bagi terwujudnya kerukunan nasional. 

Suprapto (2013: 19) yang mengkaji hubungan Hindu dan Muslim di Indonesia terutama di Lombok yang berlangsung dalam suasana harmonis menyimpulkan bahwa proses harmoni dan integrasi sosial akan terbentuk jika terdapat tiga hal yaitu: Pertama, pemahaman agama yang inklusif; Kedua, ketaatan pada hukum; Ketiga, memaafkan masa lalu, trust, dan ikatan antarwarga. 

Suprapto juga menambahkan bahwa konflik komunal yang terjadi adalah disebabkan karena mulai pudarnya kearifan lokal dan minimnya ruang publik, dua hal yang melemahkan ikatan warga. Melemahnya ikatan warga yang berkelindan dengan dengan faktor lain seperti sejarah, politik, ekonomi, dan budaya, menyebabkan berbagai pertentangan antarwarga mudah bergeser dari ketegangan personal ke konflik komunal, dan menjurus pada konflik etnis dan agama. 

Demikianlah, toleransi aktif dari para pemeluk agama sangat dibutuhkan dalam mewujudkan harmoni sosial. Upaya membangun kerukunan antar pemeluk agama tidak bisa hanya dengan memandang perbedaan sebagai fakta sosial yang fragmentatif, namun juga perlu adanya keterlibattan aktif, yaitu bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan melamlui interaksi sosial yang intens, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan sesuai yang dicita-citakan.

Sejarah panjang bangsa Indonesia menunjukkan bahwa banyak agama-agama yang kemudian masuk ke Indonesia dan diterima oleh masyarakat, yang saat itu juga sebagian besar sudah memiliki agama. Dalam rentang sejarah yang panjang mereka saling berinteraksi, proses interaksi tersebut.

Sejarah panjang bangsa Indonesia menunjukkan bahwa banyak agama-agama yang kemudian masuk ke Indonesia dan diterima oleh masyarakat, yang saat itu juga sebagian besar sudah memiliki agama. Dalam rentang sejarah yang panjang mereka saling berinteraksi, proses interaksi tersebut berlangsung nyaris tanpa gejolak yang berarti. Hal ini disebabkan karena adanya sikap toleransi aktif masing-masing pemeluk agama, sehingga dapat hidup saling menerima dan hidup bersama berdampingan. 

Hal demikian tidak terlepas dari adanya sikap moderat yang dipegang teguh masingmasing pemeluk agama. Kelompok moderat memandang umat agama lain sebagai makhluk Tuhan yang juga harus dilindungi dan dihormati. Dalam pandangan kelompok moderat keragaman adalah sunnatullah, sehingga sikap toleran dan menghargai pluralitaslah yang selalu dikedepankan sehingga terwujud harmoni sosial.

Anti Kekerasan

Selain moderasi beragama, memang ada juga upaya gencar untuk menangkal radikalisme melalui pendekatan deradikalisasi. Namun, pendekatan ini saja memiliki kelemahan karena cenderung mengabaikan upaya internalisasi ajaran agama, yang sesungguhnya merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. 
Seperti telah dikemukakan, moderasi beragama memiliki dua tujuan: pertama, internalisasi ajaran agama secara substantif, dan kedua, untuk ikut mengatasi problem kekerasan atas nama agama. 

Sebagai panduan praksis, moderasi atau jalan tengah, jika disepakati sebagai bagian dari strategi nirkekerasan, bisa diadvokasi dan dikampanyekan dengan tiga cara (Panggabean & Ali-Fauzi dalam Abu Nimer, 2010), yakni: Pertama, ‘jalan tengah’ keberagamaan bisa dikampanyekan dengan menggunakan mekanisme intra-agama dengan melihat pada aspek internal agama itu sendiri melalui pengembangan etika dan spiritualitas baru yang lebih mendukung perdamaian secara nirkekerasan. 
Hal ini bisa dilakukan dengan cara menggunakan tafsir teks-teks agama yang menekankan pada sikap toleran dan inklusif yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. 

Selain reinterpretasi teks agama, mekanisme internal-agama juga bisa dilakukan dengan menggunakan otoritas tokoh atau pemimpin agama untuk mengajak para pengikutnya agar mengedepankan perdamaian. Kedua, keberagamaan ‘jalan tengah’ juga dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme antaragama. Pada tahap ini, lebih menekankan pada tindakan. 

Dalam konteks Indonesia yang multikultural, hal ini bisa dipraktikkan dengan cara membina perdamaian melalui dialog antar individu, kelompok dan komunitas antaragama dengan membangun pergaulan yang harmonis lewat kerja sama dalam kegiatan kemasyarakatan, berkunjung dalam perayaan hari-hari keagamaan, dan bergaul dengan tanpa ada beban perbedaan. 

Kerja sama antar-agama ini bisa dipraktikkan dalam asosiasi yang berdasarkan kepentingan bersama seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik dan budaya. Praktik yang baik dalam konteks Indonesia adalah adanya komunitas yang merangkul semua pemeluk agama, yakni Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang kini sudah berdiri di 34 Propinsi dan kabupaten. Forum ini merupakan modal penting untuk agenda-agenda kerukunan ke depan.

Ketiga, ‘jalan tengah’ keberagamaan juga bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekstra-agama. Pendekatan ini dalam praktiknya lebih menekankan pada mekanisme yang bersifat sistemik yang berskala internasional. Dalam konteks global dewasa ini, hal itu bisa dilakukan dengan membuat asosiasi transnasional yang diikat dengan satu misi bersama yakni perdamaian dunia. 

Berbagai pengalaman empirik Indonesia menunjukkanbahwa ekstremisme dan kekerasan atas nama agama tidak cukup diatasi dengan gerakan deradikalisasi, melainkan juga harus sinergi dengan gerakan moderasi, agar bandul dari sisi ekstrem kanan dapat ditarik ke tengah, bersama-sama dengan satu bandul ekstrem lainnya di sisi kiri. Selama esktremitas beragama ada di salah satu sisi, dan moderasi beragama tidak hadir, maka intoleransi dan konflik keagamaan tetap akan menjadi ‘bara dalam sekam’, yang setiap saat bisa meledak, apalagi jika disulut dengan sumbu politik.

Penerimaan Terhadap Tradisi

Sedangkan praktik dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal dapat digunakan untuk melihat sejauh mana kesediaan untuk menerima praktik amaliah keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi. Orang-orang yang moderat memiliki kecenderungan lebih ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama. 

Tradisi keberagamaan yang tidak kaku, antara lain, ditandai dengan kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku beragama yang tidak semata-mata menekankan pada kebenaran normatif, melainkan juga menerima praktik beragama yang didasarkan pada keutamaan, tentu, sekali lagi, sejauh praktik itu tidak bertentangan dengan hal yang prinsipil dalam ajaran agama. 

Sebaliknya, ada juga kelompok yang cenderung tidak akomodatif terhadap tradisi dan kebudayaan, karena mempraktikkan tradisi dan budaya dalam beragama akan dianggap sebagai tindakan yang mengotori kemurnian agama. Meski demikian, praktik keberagamaan ini tidak bisa secara serta merta menggambarkan moderasi pelakunya. 

Hal ini hanya bisa digunakan untuk sekadar melihat kecenderungan umum. Pandangan bahwa seseorang yang semakin akomodatif terhadap tradisi lokal, akan semakin moderat dalam beragama memang masih harus dibuktikan. Bisa jadi, tidak ada korelasi positif antara sikap moderat dalam beragama dengan akomodasi terhadap tradisi lokal dalam beragama.

Sejarah moderasi Islam di Indonesia tidak akan pernah bisa lepas dari peran sejarah Indonesia dan para tokoh-tokoh yang berperan. dimulai dari zaman para wali songo dimana dalam sejarahnya mereka saat mengajarkan agama Islam tidak pernah dari mereka memaksa kepada orang lain. Bahkan tak jarang dari wali songo yang memberi kesempatan siapapun yang ingin diskusi untuk langsung datang kepadanya. 

Selain itu menurut sumber sejarahnya para wali songopun sangat menghargai budaya yang ada di Indonesia. Bahkan beberapapun dipadukan dengan agama Islam. Selain itu rasa menghormati kepada agama lain pun senantiasa diprioritaskan, sebagaimana contoh dalam sejarahnya pada era kesultanan Islam di Maluku Utara, yaitu pada Ternate dan Tidore. Pada era tersebut, kedua kesultanan tersebut tak mengusik rakyatnya yang memiliki agama selain Islam. Padahal, kedua sultan tersebut memiliki wewenang untuk memaksa seluruh rakyat untuk memeluk Islam. Akan tetapi, hal itu tidak dilakukan. (Raw: 2015). 

Contoh yang lain pun dapat kita temukan dalam pewayangan dalam kisah penyebaran agama Islam Sunan Kalijaga. Dimana wayang yang di praktekkan oleh Sunan Kalijaga adalah adat atau tradisi yang disukai oleh masyarakat di wilayahnya. Bahkan tak jarang bukan hanya kalangan Islam, kalangan agama lain sangat menyukai dan menghormati. 

Tentu bentuk dakwah dan tradisi yang dijaga ini mengambarkan sejarah moderasi Islam di Indonesia bahwa moderasi Islam sudah dilakukan sejak zaman Islam masuk di Indonesia terutama saat penyebaran yang dilakukan ulama. bahkan dalam perkembangannya saat inipun juga di lakukan sebagaimana Gusdur dan M. Qurasih Shihab yang dikenal moderat dan ber-NKRI dengan agama yang berbeda boleh hidup berdampingan dan saling menjaga yang ada.

Penutup

Sebagai mahasiswa yang hidup dan beraktivitas di Negara Indonesia tentu saja memiliki peran penting untuk menjaga kerukunan dan harmonisasi sosial di Indonesia. Dengan menerapkan prinsip-prinsip moderasi beragam seperti dijelaskan di atas akan didapatkan perubahan sosial demi kemajuan peradaban bangsa. 

Daftar Pustaka:

1.Buku Moderasi Beragama oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia. - Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019
2.Jurnal Moderasi Islam di Indonesia Karya Bagus Noviyanto Diterbitkan pada 3 September 2022.


***

Biografi Penulis :

Muhammad Khasbi Minannurrohman, S.Pd merupakan alumni IAINU Kebumen Tahun 2020. Lahir pada 13 Februari 1998 di Desa Trikarso Kecamatan Sruweng Kabupaten Kebumen. Sekarang masih aktif menulis di media dan berorganisasi di PMII Cabang Kebumen sebagai sekretaris umum. Untuk melihat tulisan-tulisan pribadinya silahkan kunjungi “catatan-khasbi.blogspot.com” atau mampir ke medsos “Instagram @minan_khasbi” dan bisa dihubungi melalui email: mkhasbi1001@gmail.com serta Whatsapp 085228366142.

Post a Comment

Previous Post Next Post