Perempuan dan Kesetaraan


Dalam beberapa buku yang membahas perempuan dan kesetaraan, hampir semuanya bisa ditarik kesimpulan bahwa perempuan telah di diskriminasi oleh aspek-aspek kehidupan. Namun, perlu disadari perempuan pada era ini begitu berbeda dengan perempuan-perempuan yang di narasikan dalam buku-buku tersebut. 


Perempuan-perempuan telah memasuki berbagai dimensi yang menurut mereka adalah ketimpangan yang disebabkan dominasi laki-laki. Dimensi tersebut diantaranya adalah pendidikan, industri (ekonomi), politik dan lain sebagainya. Dimensi ini telah berhasil dimasuki oleh para kaum perempuan berkat wacana feminisme.


Wacana feminisme atau ideologi feminisme berhasil mendongkrak konstruksi sosial yang sudah berabad-abad terbekukan oleh dominasi kaum laki-laki (patriarkhi). Wacana ini diilhami oleh renaisanch di dunia barat. 


Barat berhasil membawa peradabannya menjadi modern dan patut diperhitungkan oleh peradaban-peradaban lain–termasuk indonesia (sebagai wilayah yang di masukan dalam zona peradaban timur). Pasca abad kegelapan di dunia barat, dunia seakan berputar seratus delapan puluh derajat, menandakan bahwa dominasi agama (pada abad kegelapan) telah berhasil dihabisi oleh rasionalitas dan atau pencerahan (renaisanch). 

Sehingga wacana-wacana ilmu pengetahuan kian berkembang di dunia barat. Ini tidak bisa dipungkiri sebab manifestasi filsafat yunani yang didapatkan oleh orang barat dari islam. Sewaktu dinasti Abasyiah berkuasa, banyak karya-karya filsafat Yunani kuno diterjemahkan dan dikaji oleh muslim, sehingga peradaban menjadi maju. 

Melihat kemajuan ini, bangsa barat segera mendelegasikan para pelajar cemerlangnya untuk belajar pada islam. Itulah awal mula dunia barat mengalami renaisanch yang pada akhirnya memunculkan wacana feminisme.

Wacana feminisme atau yang sering kita kenal dengan kesetaraan gender memang telah berhasil mendekonstruksi tatanan sosial. Keberhasilan ini memang bukan tanpa sebab. Jika telisik lebih mendalam, keberhasilan ini diperjuangkan bukan semata-mata tanpa gerakan. 

Perempuan pada pihak ini adalah orang yang paling vital di setiap gerak-geriknya. Perempuan yang telah mengkonsumsi wacana kesetaraan gender–macam Kartini–adalah perempuan yang pasti mengalami benturan-benturan dalam memperjuangkan ideologi feminismenya.

Perempuan-perempuan yang telah bergelut dengan idealismenya kemudian; biasanya akan mati tragis atau minimal akan disiksa dan dikerdilkan perjuangannya. Itu semua terjadi sebab yang menjadi lawan mereka adalah ketimpangan yang diakibatkan oleh dominasi laki-laki. 

Maka tidak bisa dipungkiri, benturan fisik pasti akan senantiasa terjadi. Jika ditelisik lebih mendalam lagi, keberhasilan perempuan mendapatkan haknya adalah karena adanya ideologi-ideologi pragmatis yang mengakar kuat. Salah satu ideologi pragmatis ini adalah produk filsafat orang amerika. Adalah ideologi kapitalisme.

Kelahirannya yang berada di negara adi daya membuat mudah untuk berkembang dan diterima oleh masyarakat. Ideologi ini memaksa masyarakat untuk mengiyakan bahwa posisi perempuan haruslah disetarakan dengan laki-laki, namun dengan syarat perempuan harus dimanfaatkan sebagai alat kapitalis. 

Ini bisa dibuktikan, mari kita analisis lebih mendalam: perempuan sudah boleh untuk bersekolah, namun pasca lulus mereka ditampung untuk menjadi kuli dalam dunia industri. Nah, konsep kuli dan bos inilah bagian kecil dari ideologi kapital. Memang sudah banyak perempuan-perempuan menjadi cerdas, namun banyak juga yang sudah di kebiri oleh perusahaan-perusahaan kapital.

Para kaum yang pro kapitalis berbondong-bondong mendorong dan bahkan menyekolahkan perempuan-perempuan, memberi fasilitas yang terbaik, namun jika sudah lulus harus mengabdi pada kapitalis. Intinya adalah jika para pekerja cerdas dan mudah diarahkan, ini akan memudahkan proses produksi. Sehingga kapital akan semakin kuat. 

Sampai di sini kita bisa memahami bahwa kesetaraan yang didapatkan oleh perempuan ternyata adalah ada settingan dari ideologi kapitalis. Tentu dengan tujuan memanfaatkan perempuan-perempuan. Inilah yang tengah mewujud pada era sekarang. Perempuan sudah berhasil setara, namun masih gagal juga menghadapi ketimpangan model baru.

Antara Gerakan dan Harapan Perempuan

Perempuan dan kesetaraan memang dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Namun keduanya selalu mengambivalenkan pandangan dan gerakan. Seperti yang kita pahami bersama, bahwa pada era ini gerakan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan sudah tercapai, namun justru terperosok dalam jurang. Banyak perempuan kini tampil di publik namun di komersialkan. 

Perempuan-perempuan yang tampil dalam dunia politik juga gagal melawan arus. Mereka justru jatuh pada kubangan korupsi. Perempuan kini sudah boleh bekerja, namun upahnya masih dibedakan, terkadang pelecehan juga masih di langgengkan.

Menohok dari persoalan itulah, gerakan perempuan dalam menghadapi era baru ini harus reflektif dan terarah. Reflektifitas ini bertujuan mengembalikan orientasi gerakan ke arah ideal. Sementara terarah adalah gerakan yang ketika sekali dobrak harus berhasil merekonstruksi secara keseluruhan. Selain itu, gerakan perempuan juga harus lebih berani dan greget lagi. Supaya kendali sepenuhnya di tangan perempuan, bukan justru jatuh pada kubangan.

Memang bukan hal tabu jika perempuan adalah pemain baru dalam babak sejarah. Kendati baru, karakteristik dan keberaniannya harus ditetapkan sejak sekarang. Bagaimana caranya? Adalah lewat jalur pendidikan. 

Benar kiranya para tokoh pendidikan bahwa lewat jalur pendidikanlah transformasi pengetahuan dan bahkan peradaban dapat menuju ke arah lebih baik. Namun jangan sampai inkonsisten (lupa) dengan pandangan-pandangan dan pertarungan ideologi.

Perempuan-perempuan dengan kesataraannya sekarang harus berani memunculkan gagasan-gagasan baru yang segar supaya dominasi gagasan yang timpang terhadap perempuan bisa dibasmi.

Post a Comment

Previous Post Next Post