Dalam beberapa buku yang membahas perempuan dan kesetaraan, hampir semuanya bisa ditarik kesimpulan bahwa perempuan telah di diskriminasi oleh aspek-aspek kehidupan. Namun, perlu disadari perempuan pada era ini begitu berbeda dengan perempuan-perempuan yang di narasikan dalam buku-buku tersebut.
Perempuan-perempuan telah memasuki berbagai dimensi yang menurut mereka adalah ketimpangan yang disebabkan dominasi laki-laki. Dimensi tersebut diantaranya adalah pendidikan, industri (ekonomi), politik dan lain sebagainya. Dimensi ini telah berhasil dimasuki oleh para kaum perempuan berkat wacana feminisme.
Wacana feminisme atau ideologi feminisme berhasil mendongkrak konstruksi sosial yang sudah berabad-abad terbekukan oleh dominasi kaum laki-laki (patriarkhi). Wacana ini diilhami oleh renaisanch di dunia barat.
Wacana feminisme atau yang sering kita kenal dengan kesetaraan gender memang telah berhasil mendekonstruksi tatanan sosial. Keberhasilan ini memang bukan tanpa sebab. Jika telisik lebih mendalam, keberhasilan ini diperjuangkan bukan semata-mata tanpa gerakan.
Perempuan-perempuan yang telah bergelut dengan idealismenya kemudian; biasanya akan mati tragis atau minimal akan disiksa dan dikerdilkan perjuangannya. Itu semua terjadi sebab yang menjadi lawan mereka adalah ketimpangan yang diakibatkan oleh dominasi laki-laki.
Kelahirannya yang berada di negara adi daya membuat mudah untuk berkembang dan diterima oleh masyarakat. Ideologi ini memaksa masyarakat untuk mengiyakan bahwa posisi perempuan haruslah disetarakan dengan laki-laki, namun dengan syarat perempuan harus dimanfaatkan sebagai alat kapitalis.
Para kaum yang pro kapitalis berbondong-bondong mendorong dan bahkan menyekolahkan perempuan-perempuan, memberi fasilitas yang terbaik, namun jika sudah lulus harus mengabdi pada kapitalis. Intinya adalah jika para pekerja cerdas dan mudah diarahkan, ini akan memudahkan proses produksi. Sehingga kapital akan semakin kuat.
Antara Gerakan dan Harapan Perempuan
Perempuan dan kesetaraan memang dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Namun keduanya selalu mengambivalenkan pandangan dan gerakan. Seperti yang kita pahami bersama, bahwa pada era ini gerakan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan sudah tercapai, namun justru terperosok dalam jurang. Banyak perempuan kini tampil di publik namun di komersialkan.
Menohok dari persoalan itulah, gerakan perempuan dalam menghadapi era baru ini harus reflektif dan terarah. Reflektifitas ini bertujuan mengembalikan orientasi gerakan ke arah ideal. Sementara terarah adalah gerakan yang ketika sekali dobrak harus berhasil merekonstruksi secara keseluruhan. Selain itu, gerakan perempuan juga harus lebih berani dan greget lagi. Supaya kendali sepenuhnya di tangan perempuan, bukan justru jatuh pada kubangan.
Memang bukan hal tabu jika perempuan adalah pemain baru dalam babak sejarah. Kendati baru, karakteristik dan keberaniannya harus ditetapkan sejak sekarang. Bagaimana caranya? Adalah lewat jalur pendidikan.
Perempuan-perempuan dengan kesataraannya sekarang harus berani memunculkan gagasan-gagasan baru yang segar supaya dominasi gagasan yang timpang terhadap perempuan bisa dibasmi.
Post a Comment