Ilmu dalam Pandangan Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam





Oleh Khasbi

Islam memandang ilmu sebagai sesuatu yang sangat sakral dan diagungkan. Sebab tanpa adanya sebuah  ilmu dan akal kita tidak akan bisa memahami sebuah agama. Bahkan, kalangan Muktazilah menyatakan bahwa, orang Islam yang tidak mencoba mencari tahu Tuhan tanpa rasio (akal), maka matinya kafir. Pendapat mereka tentang akal memang sangat berlebih-lebihan, maka dari itu, pembaca harus hati-hati dalam memahaminya. Rasul mendelegasikan ilmu sebagai kunci kesuksesan dunia dan akhirat. 
Beliau  mengatakan bahwa "Apabila kamu menginginkan dunia carilah ilmu. Apabila kamu menginginkan akhirat carilah ilmu. Apabila kamu menginginkan keduanya carilah ilmu". Perkataan tersebut akhirnya mampu mendoktrin penulis supaya semangat mencari ilmu. Bertholabul ‘ilmi mengandung nilai ibadah yang luar biasa, disamping menjalankan sunnah dan untuk menghilangkan kebodohan, juga untuk menuju kebahagiaan hakiki (kebahagiaan akhirat). 
Salah satu tokoh  pemikiran pendidikan Islam beliau Imam Al-Zarnuji mengatakan bahwa, tujuan dari mencari ilmu adalah untuk mencari Ridha Allah Swt, memperoleh kebahagiaan akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri maupun orang lain, mengembangkan dan menlestarikan ajaran agama Islam, serta mensyukuri nikmat karena sudah diberi akal oleh Allah  Swt.  Dilihat dari perspektif beliau Imam Al-Zarnuji, bertholabul ‘ilmi merupakan ibadah yang dilakukan untuk kebaiakan manuisa di dunia maupun akhirat. Tanpa adanya transfer knowleg kepada generasi penerus, pasti dunia ini akan berakhir dengan tragis (manusia akan berfikiran dan beprilaku seperti hewan). 
Karena tidak pernah berusaha mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh-tokoh, kita akan kebingungan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Banyak sekali ilmu (hasil pemikiran) yang dibukukan, salah satunya adalah kitab Ta’alimul Muta’alim yang bertemakan metode mencari ilmu, ada juga kitab Ihya Ulumudin (karya Imam AL-Ghazali), Irsyadul ‘Ibad (karya Imam An- Nawawi) dll, juga tidak lupa karya karya para ulama kontemporer yang sekarang banyak sekali beredar di belahan dunia, bahkan samapi pelosok sekalipun. Perlu diingat bahwa, ada ilmu yang memang rasio kita tidak mampu untuk menjangkau dan mencernanya, misalkan ilmu ghaib (sihir, falak, dll). Semua urusan yang ghaib hanya Tuhanlah yang berhak mengetahui. Sebab  Tuhan punya sifat Maha Mengetahui.
Ilmu mustahil bisa direngkuh tanpa ikhtiar maksimal dan pengorbanan besar. Harta, waktu, istirahat, keluarga dan para sahabat, dan seluruh kesenangan duniawi adalah perkara-perkara yang harus dikorbankan.[1] Pernyataan tersebut memang masuk akal, analoginya adalah  seorang atlet lari yang tidak serius dalam larinya, tidak ada senangat, tidak ada rasa juang untuk mencapai finish, pasti dia tidak akan mampu finish urutan pertama, lebih lebih lagi, dia akan terpuruk dan bisa saja dia tidak finish. Seperti itulah, berjuang dalam bertholabul ilmi tanpa frontal, pasti tidak akan mampu ilmu itu secara keseluruhan, seperti kasus atlet tadi.
Perlu diketahui berdasarkan sumbernya ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu ladunni dan nisbi. Ilmu ladunni secara garis besar adalah ilmu yang secara langsung turun dari Allah Swt. Ilmu ini jarang dimiliki oleh seseorang karena memang sifatnya yang secara langsung dari Allah Swt, tetapi tidak menutup kemungkinan ilmu ini (ladunni) dapat dimiliki oleh seseorang. Al-Qur’an juga menyebutkan: "Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami" . (Q.S Al-Kahf : 65). Sedangkan, Ilmu nisbi secara garis besar adalah ilmu yang dicari atau dihasilkan atau usaha oleh manusia baik melalui belajar, penelitian atau metode-metode yang lain.
Kita dilarang tanpa usaha untuk meraih ilmu. Sebab Nabi Muhammad Saw memerintahkan kita untuk mencari ilmu. "Tolabul ’ilmi faridhotun ’ala kulli muslimin wal muslimat", yang artinya Mencari Ilmu hukumnya wajib, bagi semua muslim (laki-laki dan perempuan). Bahkan, nabi "memfardukan" untuk mencari ilmu tanpa sebuah pengecualian. Sudah pasti kita sebagai umat Islam untuk melaksanakan apa yang di perintah nabi tersebut, sebab itu bernilai ibadah yang bersifat sunnah muakkad.
 Nabi Adam a.s. adalah contoh kongkret sebagai hamba yang melakukan tolabul ’ilmi. Ketika Nabi Adam a.s. diciptakan, Allah Swt memberi pengetahuan kepadanya. Saat Nabi Adam.as diturunkan ke bumi. Di situlah ilmu pengetahuan  berperan sangat vital.[2] Alasan kenapa Allah Swt menjadikan manusia  menjadi khalifah fil ‘ard adalah memang karena manusia diberi sebuah ilmu pengetahuan, sehingga manusia dapat membedakan dan mengetahui sesuatu yang mereka lihat, dengar, rasa dll, yang kemudian diolah oleh akal, lalu akan mewujudlah sebuah tindakan. Sebenarnya, jika kita mampu berpikir secara mendalam pasti akan ada banyak peran serta ilmu di dalam kisah nabi yang sering kita dengar dan baca. Misal, kisah antara Nabi Musa dan Nabi Khidir.[3] Nabi Sulaiman a.s. juga termasuknya, dia adalah nabi terkaya dan paling berkuasa. Kekuasaan dan kekayaan ia dapatkan, karena ilmu.
Kata iqra (bacalah) mengandung berbagai makana dan tujuan. Salah satu tujuan dari wahyu yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad Saw itu adalah supaya mereka para umat manusia-khususnya umat islam-untuk membaca dan berlatih memahami.  Memang membaca adalah kunci untuk mendapatkan sebuah ilmu. Seperti yang dikatakan oleh orang bijak, membaca adalah jendelanya dunia. 
Kasus seperti ini dapat kita buktikan dengan melihat perbedaan orang yang suka membaca dan orang tidak suka membaca (pasti akan terlihat lebih unggul mereka yang suka membaca) baik itu masalah moral ataupun keintelektualan. Terlebihlagi yang dibaca adalah kitab-kitab karangan para ulama klasik. Misal kitab Ta’alimul Muta’alim karya Syaikh Al-Zarnuji yang isinya membahas tentang adab dan tata cara dalam mencari ilmu yang sesuai dengan kaidah Islam. Kemudian kitab Ihya Ulumudin karya Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal dengan kehebatan memadukan antara dunia dan akhirat,[4] dan juga kitab-kitab karya ulama yang lain. Kenapa saya lebih condong kepada kitab-kitab karangan ulama klasik?. Sebab ulama tersebut lebih wara’ dibandingkan dengan  ulama-ulama kontemporer (walaupun sebenarnya ada juga yang wara’)

Ilmu dalam Pandangan Al Ghazali

        Menurut Imam Al Ghazali, Ilmu pengetahuan adalah salah satu dari empat sumber kebahagiaan.[5] Ketika seseorang lebih tahu dari yang lain pastilah dia akan lebih paham dan lebih tahu jalan mana yang akan diambil, disitulah dia akan menemukan kebahagiaan. Itulah keuntungan ilmu pengetahuan. Kita sebagai agent of change harus tahu dan paham tentang pentingnya ilmu sejak zaman dahulu (nenek moyang). sampai sekarang, supaya kita semakin giat untuk menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun.
Dari redaksi hadis nabi yang disebutkan tadi. Kita mampu menelaah perkataan ’Ilmi yang kata aslinya adalah ilm dan kemudian ketambahan alif dan lam. Jadi intinya kata tersebut termasuk isim nakiroh. Artinya kata ilmu tersebut mengandung sebuah “penghususuan” terhadap ilmu itu sendiri. Maksudnya adalah di dalam bertolabul ’ilmi kita harus memilih sebuah ilmu yang wajib untuk kita ketahui.[6] Seperti yang dikemukakan di dalam kitab Taalimul Mutaalim karya Imam Al-Zarnuji ilmu dibagi menjadi dua ; fardhu ‘ain (dasar-dasar agama) dan fardhu kifayah (ilmu kedokteran, astronomi dll.) seperti yang dikemukakan opleh Imam Al-Zarnuji, ilmu yang wajib kita ketahui terlebih dahulu adalah ilmu yang bersifat fardhu ‘ain. 
Sebab ilmu ini membahas tentang dasar-dasar agama. Menurut pendapat saya, orang yang atheis pasti akan mudah tersulut emosi, kehidupannya tidak teratur, tidak seperti mereka orang-orang yang beragama (Islam), sebab mereka punya Tuhan, punya syariat untuk melaksanakan ibadah-ibadah kepadanya. Misalkan berdzikir, berdzikir dimaksudkan untuk mengingat Allah, siapa yang mengingat Allah, pasti hatinya akan tenang.
Seperti yang termaktubkan di dalam Al-Qur’an bahwa "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku". (Q.S Az Zuriyat : 56). Dapat menjadi dasar bagi kita untuk berbuat sesuatu harus bernilai ibadah (bertholabul ‘ilmi). Selain itu, ayat tersebut dapat menjadikan faktor kenapa kita harus mencari ilmu tentang ketuhanan maupun ilmu yang berkaitan dengan hal ibadah (dasar-dasar agama). Hal itu sebenarnya memang Allah Swt sendirilah yang secara tidak langsung memerintahkanya.
Pendidikan adalah sebuah transfer knowleg. Yaitu sebuah transfer  ilmu pengetahuan dari satu orang ke orang yang lain, serta dilakukan secara sadar dan terarah. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia dan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.[7] Pendidikan banyak sekali cabangnya, salah satunya adalah pendidikan Islam.
Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung ialah pendidikan yang memiliki empat macam fungsi yaitu:
1. Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri.
2.  Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
3.  Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup (survival) suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan dapat terpelihara dengan baik yang akhirnya akan menyebabkan kehancuran masyarakat itu sendiri.

Referensi :
Ghuddah Abd Fattah Abu. Bertualang Mencari Ilmu. Yogyakarta: Insan Madani. 2008.
Hasan Muhammad Tholchah. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Listafariska Putri . 2000.
Sya’ban Hilmi ’Ali. Nabi Adam. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2004.
Al-Qur’an Terjemah. Al-Huda Kelompok Gema Insani. 2002.



[1] Abd Fattah Abu Ghuddah, Bertualang Mencari Ilmu, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008).
[2]Sya’ban Hilmi ’Ali, Nabi Adam, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004).
[3] Baca Al-Qur’an Surah Al-Kahf.
[4] Moderat
[5] Hasan Muhammad Tholchah, Dinamika Kehidupan Religius, ( Jakarta: Listafariska Putri, 2000).
[6] Maksudnya ilmu ketauhidan
[7] Pendapat dari Imam Al-Ghazali


Post a Comment

Previous Post Next Post