Makalah Ushul Fiqih ijma dan Qiyas


                                     



     BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, toleransi dan keseimbangan, oleh sebab itulah penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah tidak hanya secara leterlek. dibutuhkan metode lain untuk mencapai kemanusiaan, toleransi dan keseimbangan, metode yang apabila persoalan-persoalan yang mendera tidak ada hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, terlebih dengan perkembangan zaman yang tidak bisa dibendung. Ijma’ dan Qiyas adalah sebuah metode yang harus digunakan untuk mencapai Islam yang diharapkan supaya tetap relevan dan sesuai dengan substansinya.

B.           Rumusan Masalah
Bagaimana Ijma’ dan Qiyas menjadi hukum Islam ?
C.           Tujuan
Mampu mengerti bagaimana Ijma’ dan Qiyas dapat menjadi hukum Islam 









BAB II
IJMA’
1.            Pengertian Ijma’
Secara etimologi ijma’ berarti sepakat. Adapun dalil yang mendasari asal-usul kata tersebut adalah Al-Qur’an Surat Yusuf : 15, yang artinya “Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar sumur”. Selain diartikan dengan kata sepakat, ijma’ juga diartikan dengan “ketetapan hati untuk melakukan sesuatu”.[1]
Adapun secara terminologi, para ahli ushul fiqih sepakat bahwa ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid pada suatu masa di kalangan umat islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.[2]
Al-Ghazali berpendapat tentang ijma’ ini, yaitu “kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas urusan agama”.[3]
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil beberapa hipotesis bahwa ijma’ :
·      Ijma’ berlaku setelah Nabi wafat.
·      Ijma’ dilakukan oleh seorang ahli (alim) agama, atau seorang mujtahid.
·      ijmapertama pada zaman khulafaurrasidin.
2.            Macam-macam ijma’
Adapun ijma ditinjau dari segi cara menghasilkannya terbagi menjadi dua macam :
a.  Ijma’ sharih/kauli yaitu kesepakatan secara lisan atau tulisan yang dilakukan oleh mujtahid, terhadap pendapat mujtahid lain pada zamannya.
b. Ijma’ syukuti/ghairu sarih yaitu kesepakatan yang dilakukan secara diam oleh mujtahid terhadap pendapat mujtahid lainnya, yang mempunyai arti bahwa diam itu bermakna setuju.
Menurut ulama Hanafiah, dua jenis ijma’ di atas merupakan ijma’ yang merupakan ijma’ sebenarnya. Tetapi menurut ulama Syafiiah hanya jenis ijma’ kauli yang dimaknai sebagai ijma’ sebenarnya, karena ijma’ syukuti adalah ijma i’tibari (anggapan), yaitu orang diam tidak ada kepastian yang menandakan dia setuju atau tidak.

3.            Rukun ijma’
       Rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan[4]. Ijma’ tidak bisa dilaksanakan dan tidak bisa disahkan jika rukunnya tidak terpenuhi, adapun rukunnya sebagai berikut :
·     Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya peristiwa.
·     Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang suatu negri, kebangsaan, ataupun kelompok mereka.
·     Bahwasanya kesepakatan mereka adalah mengemukakan pendapat masing-masing mujtahid tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa.
·     Terealisasinya kesepakatan para mujtahid terhadap suatu hukum.
4.            Kehujjahan ijma
Adapun dalil yang menerangkan kehujjahan ijma adalah sebagai berikut:
Terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 59 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rosul (Muhmmad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu….”
Bahwasannya hukum yang disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid umat islam pada hakikatnya adalah hukum umat islam yang diwakili oleh para mujtahid mereka, diantaranya adalah sabda Rasul yang berbunyi “umatku tidak mungkin bersepakat pada suatu kesalahan”.
Bahwasanya ijma’ terhadap suatu hukum syar’i harus didasarkan pada sandaran yang syar’i pula karena seorang mujtahid islam mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh di langgar. Apabila dalam ijtihadnya tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman nash dan pengetahuan yang menunjukannya.







BAB III
QIYAS
1.            Pengertian qiyas
       Secara etimologi qiyas berasal dari kata qasa-yaqisu-qisan yang berarti mengukur dan ukuran. Berdasar terminologi, Qiyas adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena terdapat perasamaan kedua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya.
2.            Unsur-unsur atau rukun qiyas
·     Al-Ashlu’
Yaitu sesuatu yang ada nash hukumnya, disebut juga al maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan) dan musyatbah bih (yang diserupakan dengannya).
·     Al-Far’u
Yaitu sesuatu yang tidk ada nash hukumnya dalam arti hukumnya disamakan dengan asli disebut juga al-maqis, al-mahmul dan al- musyabah.
·     Hukum Ashl
Yaitu hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokonya) dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al far’u  atau (cabangnya).
·     Al-‘Illat
Yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan keberadaan sifat itu pada cabang maka, ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
‘illat (alasan) qiyas ini merupaa rukun yang terpenting, karena ‘illat qiyas merupakan asas dari qiyas itu sendiri dan pembahasan-pembahasannya merupaka pembahasan qiyas yang terpenting. Pembahasannya sangat banyak, namun kami meringkasnya menjadi empat yaitu:
·     Definisi ‘illat
‘Illat adalah ialah suatu yang memberitahukan adanya hukum, atau sifat yang terdapat pada Ashl (pokok) yang menjadi dasar dari pada hukumnya, dan dengan sifat tersebut dapat diketahui adanya hukum pada Far’ (cabangnya).[5]
Contohnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamr, yang menjadi dasar pengharamannya, dan dengan adanya sifat memabukkan inilah diketahui pengharaman terhadap semua minuman yang memabukkan. dalam contoh tersebut, dapat diketahui bahwa, ilatnya adalah memabukkan.
·     Syarat-syarat ‘illat sebaga berikut:
·     Illat iru harus merupakan sifat yang nyata, artinya dapat diinderai.
·     Illat harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada cabang.
·     Bahwa ‘illat itu harus berupa sifat yang sesuai, maksdunya sifat itu menjadi tempat dugaan untuk mewujudkan hikmah hukum.
·     Bahwa ‘illat tidak boleh beruapa sifat yang terbatas pada ashl atau pokoknya, maksdunya harus berupa sift yang dapat diwujudkan pada sejumlah individu dan ditemukan pada selain pokok.
·     Macam-macam ‘Illat
Dari segi ada atau tidaknya pndangan syari terhdap sifat yang sesuai maka para fuqaha mesmbagi sifat yang ada kesesuaian (munasid) menjadi empat macam yaitu:
Munasid Muatsir, (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh), yaitu sifat yang sesuai dimana syari telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat tersebut, berdasrkan nash atau ijma’, sifat itu ditetapkan sebagai ‘illay hukum yang disusun berdsarkan kesesuian terhadap sifat yang ada.
Munasid Mulaim, (sifat yang sesuai serta cocok), yaitu sifat yang sesuai, yang mana syari telah menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai ‘Illat hukum yang disusun sesuai degan sifat itu.
Munasid Mursyal, (sifat yang sesuai serta bebas), yaitu sifat yang secara hukum tidak disusun dan cocok oleh syari’at dan tidak pula ada dalil syar’i yang menunjukkan keterangan dalil tersebut.
Munasid Mulgha, (sifat sesuai yang sia-sia), yaitu sifat yag jelas, bahwa mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemashlahatan, namun syari tidak menyusun hukum yang sesuai dengannya dan syari menunjukkan batalnya keterangan (I’tibar) dalil-dalil tersebut.
·     Jalur ‘Illat
Ada tiga cara yang masyhur untuk mengetahui ‘illat yaitu sebagi berikut:
Dengn nash, apbila nash dalam Al-Quran atau as-sunnah menunjukkan ‘illat hukum adalah sifat tertentu maka sifat tersebut menjadi ‘illat berdasarkan nash (‘illat al-manshus ‘alaiha). Pengqiyasan berdasarkan atas ‘illat tersebut pada hakikatnya merupakan penerapan nash.
Dengan ijma’, apabila para mujtahid pada suatu masa sepakat atas ‘illat sifat bagi hukum syara’, maka ‘illat sifat tersebut telah menjadi ketetapn berdasarkan ijma’’.
As-Sibr wat Taqsim, yaitu dengan cara meneliti dan mencari ‘illat yang paling tepat diantara beberapa kemungkinan ‘illat. Untuk menegethui illat semacam ini diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang system hukum islam secara keseluruhan, maksud syara’ maupun perinciannya, disampung diperlukan ketajaman berfikir.
3.            Kehujjahan qiyas
Menurut jumhur ulama Islam memandang bahwa qiyas merupakan hujjah syar’iyyah atas hukum- hukum yang mengenai perbuatan manusia (amaliyyah). Hal ini mengandung arti apabila pada suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash (Al Qur’an dan as- Sunah) ataupun ijma’, dan di peroleh ketetapan bahwa ‘illat hukum dari kasus tersebut menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya, maka hukum kasus itu diqiyaskan dengan hukum kejadian tersebut dan ini dihukumi sebagai produk hukum syara’. Mereka disebut sebagai orang- orang ang menetapkan qiyas (mutsbitul qiyas).
Sedangkan Nizhzhamiyyah Zhahiriyah, dan sebagian kelompok syiah berpendapat bahwasannya qiyas bukanlah hujjah syar’iyyah atas suatu hukum, mereka ini disebut penolak qiyas (nufatul qiyas).
Adapun ayat Al-Qur’an yang digunakan para ulama sebagai dalil qiyas sebagai berikut :


·     Qur’an surat An Nisa ayat 59
Segi pengambilan dalil dari ayat ini ialah bahwa Allah Swt memerintahkan orang mukmin, jika mereka berlainan dan berbeda pendapat mengenai suatu hal yang tidak ada hukumnya bagi Allah Swt , Rasul- Nya maupun Ulil Amri, supaya mengembalikannya kepada Allah Swt dan Rasulallah tidak  diragukan lagi bahwa menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya kesamaan illat hukum pada keduanya adalah termasuk mengembalikan sesuatu pada Allah Swt dan Rasul-Nya karena hal itu mengandung pengertian hukum mengikuti Allah Swt dan Rasulullah.


·     Qur’an surat Al Hasyr ayat 2
Tempat pengambilan dalil darifirman Allah Swt “ fa’tabiru” adalah bahwasannya Allah Swt , setelah menceritakan apa yang ada pada bani Nadhir yang kafir dan menjelaskan siksaan yang menimpa mereka dari aah yang mereka tidak sangka- sangka, maka Allah Swt berfirman : “ Maka ambillah (kejadian itu) unutuk menjadi pelajaran, wahai orang- orang ang mepunyai pandangan!”, maksudnya , qiyaskanlah dirimu dengan mereka, jika kamu mengerjakan sebagaimana pekerjaan mereka, maka akan datang kepada kamu (siksa) seperti yang pernah datang kepada mereka.



·     Qur’an surat Yasin ayat 79
Segi pengambilan dari ayat  diatas  adalah bahwa Allah Swt menunjukan dalil tehadap apa yang diingkari oleh orang- orang yang mengingkari kebankitan berdasarkan qiyas, Allah Swt mengqiyaskan pengembalian makhluk- makhluk setelah lenyap dari permulaan penciptaanya pada kali yang pertama. Hal ini dimaksudkan untuk menundukan orang –orang yang ingkar, bahwasannya Tuhan kuasa memulai penciptaan sesuatau pada kali yang pertama dan Maha Kuasa untuk mengembalikannya lagi, bahkan hal tersebut lebih mudah bagi- Nya. Penggunaan dalil dengan qiyas ini merupakan pengakuan terhadap kehujjahan qiyas dan keabsahan menggunakan dalil dengannya.
Adapun As Sunah , yang digunakan oleh para ulama sebgai dalil qiyas adalah sebagai berikut:
·     Dalam hadits yang artinya : “Bahwasannya Rasulallah Saw ketika mengutus Mu’adz menuju Yaman beliau berkata kepadanya “Bagaimankan kamu memberi keputusan, apabila suatu keputusan dihadapkan kepadamu ?” Mu’azd menjawab, “ saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, jika saya tidak menumkannya, maka berdasarkan sunnah Rasulallah Saw, kemudian jika sya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihaj dengan pendapatku, dan saya tidak akan gegabah’. Lantas Rosululloh Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata “segala puji bagi Allah yang telah memebrikan taufik skepada utusan Rosululloh terhadap sesuatu yang di ridhoi oleh Rasulallah Saw.” Segi pengambilan dalil dengan hadits ini ialah bahwasannya Rasulallah Saw mengakui Mu’adz untuk berijtihaj, apabila ia tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan, baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah
·     Menurut ketetapan As Sunah  yang shahih, bahwasannya Rasulallah Saw dalam menghadapi berbagai kejadian sedangkan beliau belum diberi wahyu mengenai hukumnya, maka beliau beristidlal dengan cara qiyas. Perbuatan Rasulallah Saw dalam hal yang bersifat umum ini menurupakan suatu pembentukan hukum bagi umatnya, padahal tidak ada dalil yang mengkhususkan hali itu kepadanya. Oleh karena itu, mengqiyaskan terhadap sesuatu yang tidak ada nash nya termasuk sunnah Rasulallah Saw. dan beliau adalah contoh teladan bagi kaum muslimin.













BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologi ijma’ berarti sepakat. Adapun dalil yang mendasari asal-usul kata tersebut adalah Al-Qur’an Surat Yusuf : 15, yang artinya “Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar sumur”. Selain diartikan dengan kata sepakat, ijma’ juga diartikan dengan “ketetapan hati untuk melakukan sesuatu”.
Berdasar terminologi, Qiyas adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena terdapat perasamaan kedua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Khallaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang, 1994.
Dedi Supriadi, Ushul Fiqih Pebandingan, Bandung, 2014.
Djazuli, Ilmu Fiqih, Jakarta, 1987.



[1] Baca surat Yunus ayat 71
[2] Khallaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, (Dina Utama : Semarang) cet. pertama  edisi pertama 1994. cet. pertama edisi kedua 2014. hal. 66
[3] Dedi Supriadi, Ushul Fiqih Pebandingan, (Pustaka Setia : Bandung, 2014). hal. 164
[4] KBBI
[5] Ibid. hal. 101

Post a Comment

Previous Post Next Post