Diskusi Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia[1]
Literature sejarah banyak
mengatakan bahwa gerakan perempuan bertitik fokus pada perjuangan untuk
kesetaraan atau emansipasi. Di dalam konteks sejarah Indonesia, gerakan
perempuan menggunakan sebuah wadah sebagai kendaraan untuk memuluskan visi
kesetaraan mereka. Di antara salah satu organisasi yang menjadi wadah gerakan
perempuan adalah sebagai berikut: GERWANI, PKK, AISYIAH, GWI, SR, dll.
Gerakan
perempuan di Indonesia sebenarnya diawali dalam dunia Barat. Kemunculan gerakan
perempuan atau akrab dipanggil feminisme
muncul pada tahun 1800-an. Perjuangan yang dilakukan oleh perempuan Barat pada
titik awal berkaitan dengan dunia pendidikan, lebih spesifik pada pemberantasan
buta huruf. Seiring perjalanan waktu, skala gerakan yang dilakukan oleh pejuang
feminisme ini mulai naik ke dalam
ranah ekonomi, industrialisasi, dan berimplikasi juga kepada dunia politik.
Pejuang feminisme menganggap bahwa
kebijakan yang dibuat oleh negara harus berpihak kepada kaum perempuan, oleh sebab
itulah kemudian pejuang feminisme banyak
berkonsentrasi di dalam dunia politik.[2]
Tokoh
perempuan Indonesia, R.A Kartini juga mendapat semangat dari feminisme Barat. Sebagai anak dari
Bupati, Kartini tumbuh tidak seperti anak-anak yang lain. Dia anti terhadap
feodalisme, kolonialisme dan penindasan dalam bentuk lain. Kartini muda menjelma
menjadi seorang yang mempunyai pengaruh dalam perjuangan perempuan di Indonesia.
Tulisan Kartini yang diterbitkan juga menunjukan bahwa dirinya layak disebut
sebagai penggagas gerakan perempuan. Konsentrasi dari tulisan Kartini diarahkan
kepada budaya.
Dalam beberapa surat-suratnya, Kartini juga mengkritisi soal adanya
budaya patriarki di Jawa yang terus
membelenggu perempuan. Dalam konteks pendidikan, Kartini juga menuangkan
gagasan feminisme-nya dengan jalan
mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak perempuan. Kecemerlangan ini adalah
konsekuensi logis dari banyaknya Kartini mengkonsumsi wacana feminisme dan juga karena kepekaan
sosial yang tinggi yang melekat pada dirinya.
Pahlawan
Nasional Indonesia Cut Nyak Dien juga termasuk perempuan feminisme yang sama sekali tidak mengenal teori Barat. Cut bisa dikategorikan
ke dalam gerakan perempuan yang berkonsentrasi pada kegiatan fisik. Disebabkan
Cut aktif dalam perang sebagai bentuk pernyataan sikapnya dalam melawan
kolonialis dan ketertindasan. Cut pada satu titik sama dengan Kartini,
mempunyai sebuah kepekaan sosial yang tinggi, sehingga mampu tersadar bahwa
selama ini praktek emperialis sedang
terjadi di Bumi Pertiwi.
GERPU:
Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi
Gerakan
perempuan pada masa Orde Lama memang massif, dikarenakan gerakan perempuan pada
era ini masih mendapat pengaruh dari depressi
of emperialisme yang secara psikologi menuntut kaum perempuan untuk menghilangkan
segala jenis ketertindasan. Gerakan pada ini banyak digalakan oleh para kaum
kiri, yang mana orientasi mereka adalah politik kesetaraan: sosialisme. Gerakan perempuan ini
dipayungi oleh dua organisasi besar di Indonesia yaitu PKI dan Sarekat Rakyat.
GERWANI
sebagai organisasi gerakan perempuan pada Orde Lama kemudian tersingkirkan oleh
kepentingan Orde Baru dengan cara mengkambinghitamkan mereka. Implikasi yang
didapatkan dari kepentingan rezim Orde Baru ini tercatat membuat gerakan
perempuan melemah karena direduksi sedemikian rupa. Reduksi ini mewujud pada
pembubaran GERWANI, yang kemudian dibuat sebuah organisasi baru bernama PKK.
Organisasi PKK ini konsentrasi aktivitasnya hanya dalam rangka mendoktrinkan
ideologi “ibuisme”. Sebuah ideologi yang memaksa kaum perempuan supaya kembali
lagi ke dalam ranah domestik. Dari reduksi yang dilakukan rezim Orde Baru ini,
kekuatan politis yang dibangun oleh rezim Orde Baru semakin kuat.
Ideologi
GERWANI sebenarnya hampir sama dengan SR yang berhaluan kiri. Menurut Nur
Sayyid Santoso Kristeva GERWANI mempunyai pandangan bahwa ketertindasan
perempuan diakibatkan oleh kapitalisme. Bahkan terjadinya pelacuran yang
merugikan perempuan bukan diakibatkan oleh kesalahan perempuan, melainkan
diakibatkan oleh kapitalis. Mirip dengan konsep dari femisnisme Marxis di Barat.
Setelah
Orde Baru tumbang, dibukalah kran demokrasi disegala lini. Kebebasan pers dan globalisasi
sebagai implikasi logis reformasi ternyata membuat posisi gerakan peremuan menjadi
ambivalen. Bahkan kemudian, kebebasan yang dieperjuangkan oleh kaum perempuan
menjadi tidak terkendali dan keluar jalur. Banyak kemudian para kaum perempuan
kebablasan dalam pergerakannya, seperti mendukung adanya lesbiy (homoseksual). Ini jelas kebablasan, sebab sebagai warga
Negara Indonesia mempunyai harus patuh pada seperangkat aturan, yang masih
mementingkan spiritualitas, religiusitas atau agama. Posisi gerakan
perempuan pada masa ini menjadi ambivalen
karena disatu sisi berimplikasi baik, dan sisi yang lain buruk.
Keambivalensian
gerakan perempuan ternyata dimanfaatkan oleh para kaum kapitalis untuk terus
mengekploitasi mereka. Kapitalis tidak pernah pandang bulu dalam perburuan
“gold” di Indonesia, termasuk menggunakan para perempuan untuk memuluskan
kepentingan. Arus globalisasi yang membawa seabrek kepentingan sulit dibendung
oleh para aktivis gerakan perempuan, rata-rata mereka keteteran dikarenakan
sistem kapitalis semakin bersemrawutan. Situasi ini juga dipersulit dengan adanya
perkawinan antara kepentingan kapitalis dengan kebijakan yang dibuat oleh
negara.
Kendati
kursi dewan (porsi politik) untuk kaum perempuan sudah terbuka lebar, kesadaran
kaum perempuan pada saat ini cenderung terbelunggu. Belenggu ini banyak
diakibatkan oleh arus globalisasi yang melanda Indonesia—pasca reformasi.
Perempuan-perempuan seperti Kartini kemudian menjadi sosok yang langka di zaman
modern—pasca reformasi ini. Bangsa Indonesia kehilangan sosok yang idelais
seperti Kartini, kondisi ini mengakibatkan gerakan perempuan semakin hari menjadi
terpuruk.
(Ditulis oleh Muhammad Khasbi
M./Koordinator Biro Pers Propaganda Komsat Jokosangkrip IAINU Kebumen)
[1] Sebuah hasil resume dari diskusi
rutinan KOPRI PC PMII yang dilakukan di sekre PC PMII Kebumen pada 22 April
2018.
[2] Menurut klasifikasi yang dibuat
oleh Nur Sayyid Santoso Kristeva dalam bukunya Manifesto Wacana Kiri: kelompok feminisme
yang berjuang dan bercokol di ranah politik termasuk gerakan feminisme gelombang ke dua.
Post a Comment