Oleh: Muhammad Khasbi M.
Sub Materi
· Geneologi Revolusi Industri
· Definisi Literasi Digital
· Kompetensi Dasar Literasi Digital
· Mahasiswa di Tengah Generasi Digital Native
· Idealisme Mahasiswa Generasi Digital Native
Abstrak
Kemajuan tekhnologi digital hari ini menjadi entitas penting bagi mahasiswa. Smartphone bahkan menjadi gawai wajib bagi mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan aktivitas harian. Hal tersebut bukanlah hal yang baru, mengingat arus dinamisasi perkembangan tekhonologi di dunia semain cepat, terlebihIndonesia merupakan negara pengguna internet terbesar di dunia. Menurut data We Are Sosial Hotsuite pengguna Internet di Indonesia didominasi oleh kalangan muda berusia 18-34 tahun.Selain itu penetrasi penggunaan internet di Indonesia menurut data Internet World Stat pada Maret 2021 meningkat 76,8% dari populasi penduduknya. Tingginya pengguna internet di Indonesia pada tahun ini tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19, hingga kemudian banyak yang berspekulasi bahwa pandemi ini sebagai salah satu akselerator digitalisasi di dunia.
Mahasiswa generasi digita native merupakan mereka yang terlahir di lingkungan era tekhnologi digital, aktivitas yang dilakukan membutuhkan peralatan tekhnologi sebagai media bantu penunjang produktivitasnya. Salah satu karakteristik generasi native adalah kemampuan dalam menggunakan, mengendalikan dan memanfaatkan alat-alat tekhnologi seperti smartphone ataupun laptop dan lain sebagainya.
Mahasiswa sebagai insan cendekia yang digadang-gadang mampu memberikan kontribusi bagi perubahan-perubahan sosial dituntut memiliki kemampuan literasi digital danaktualisasi diri dalamarus perkembangan digital dengan tetapmemegang teguh prinsipidealisme yaitu senantiasa berfikir secara dialektis, bersikap kritis dan bertindak transformatif. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap masyarakat generasi digital native ditemukan sebuah kesimpulan bahwa mahasiswa harus memiliki kemampuanadaptif, kompetitif, elaboratif, kolaboratif, imajinatif, agitatif dan transformatif sebagai langkah strategis meningkatkan a sense of purpose and direction (kesadaran akan tujuan dan arah tindakan) di Era Society5.0.
Sepintas Tentang Geneologi Revolusi Industri
Era Revolusi Industri 1.0: Mekanisasi
Revolusi Industri 1.0 ini dimulai ketika ditemukannya mesin uap di negara Inggris. Hal ini ditandai dengan digunakannya mesin tenun mekanis bertenaga uap pertama di dunia. Mesin tersebut digunakan untuk meningkatkan produktivitas industri tekstil yang dulunya masih dikerjakan manual oleh tangan manusia.Penggunaan mesin uap pun semakin berkembang ke ranah transportasi. Setelah ditemukannya mesin uap pada tahun 1776 oleh James Watt, maka era transportasi yang lama pun perlahan berakhir.Seiring berjalannya waktu, mesin uap berkembang pula di berbagai industri lain. Mulai dari pertanian, pertambangan, transportasi, sampai ke manufaktur pun mulai menggantikan tenaga manual. Di era ini jugalah pertama kali kegiatan produksi massal terjadi.Diketahui pendapatan per kapita negara-negara di dunia meningkat hingga 6 kali lipat berkat terjadinya Revolusi Industri 1.0 ini.
Era Revolusi Industri 2.0: Elektrifikasi
Setelah era Revolusi Industri 1.0 berakhir pada tahun 1850-an, revolusi industri pun masuk ke tahap selanjutnya yaitu Revolusi Industri 2.0 dengan ditemukannya tenaga listrik.Berbeda dengan revolusi pertama yang lebih berfokus kepada efisiensi mesin, Revolusi Industri 2.0 lebih berfokus kepada proses produksi itu sendiri. Salah satu contohnya adalah proses pembuatan mobil yang pada awalnya tidak bisa dilakukan di tempat lain karena biaya yang sangat mahal, kemudian diselesaikan dengan konsep Lini Produksi (Assembly Line) yang memanfaatkan conveyor belt pada tahun 1913. Akibatnya proses perakitan mobil bisa dilakukan lebih efisien oleh orang lain di tempat yang berbeda. Prinsip ini lalu berkembang menjadi spesialisasi, dimana 1 orang hanya menangani 1 proses perakitan.Dampak Revolusi Industri 2.0 lain yang paling terlihat adalah saat Perang Dunia II, dimana kala itu produksi kendaraan perang seperti tank, pesawat, dan senjata tempur lainnya diproduksi secara besar-besaran.
Era Revolusi Industri 3.0: Teknologi Otomasi/Globalisasi
Era teknologi disebut sebagai pemicu dimulainya Revolusi Industri 3.0. Di era ini, peran manusia di industri pun mulai dikurangi, kemudian digantikan dengan mesin-mesin pintar berteknologi khusus yang bisa memprediksi dan membuat keputusan sendiri.Penggunaan komputer mulai menggantikan hal-hal yang dulunya dilakukan oleh manusia. Seperti mengirim dokumen, menghitung formula yang rumit, sampai membuat pencatatan keuangan. Dalam dunia manufaktur, Revolusi Industri 3.0 bisa dibilang merupakan revolusi yang sangat penting. Mengingat manufaktur menuntut ketepatan dan ketelitian yang sangat tinggi, dimana dua hal tersebut sangatlah sulit dilakukan oleh manusia. Penggunaan teknologi pun menjadi sebuah solusi yang tepat, sehingga produksi dalam jumlah yang besar dapat dilakukan secara otomatis, cepat, dan juga berkualitas.
Era Revolusi Industri 4.0: Digitalalisasi
Saatnya kita masuk ke tahap yang paling baru, yaitu Revolusi Industri 4.0 dimana berfokus kepada perkembangan dunia digital dan internet (Internet of Things). Berbagai inovasi seperti robot yang terhubung ke internet, Artificial Intelligence (AI), cloud computing, dan sebagainya berkembang sangat pesat di era ini (Astrid Savitri, 2019).Teknologi baru yang belum pernah ada sebelumnya seperti ojek online, tarik tunai lewat ponsel, sampai warung digital pun bermunculan di era revolusi industri terbaru ini.Dalam skala industri, Revolusi Industri 4.0 meningkatkan kemampuan software dan internet untuk meningkatkan efisiensi perusahaan.
Salah satu contohnya adalah pengumpulan data historis mesin oleh software yang digunakan untuk menjadwalkan maintenance bulanan secara otomatis. Data-data tersebut nantinya akan diproses oleh algoritma, sehingga menghasilkan keputusan logis layaknya manusia.Bahkan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian, mencanangkan tajukMaking Indonesia 4.0 agar Indonesia bisa lebih siap dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Hal ini salah satunya ditandai dengan diperbaikinya berbagai infrastruktur telekomunikasi Indonesia.
Revolusi Industri 4.0 juga membawa dampak disrupsi. Kata-kata seperti disruption, disruptive innovation, disruptive technology, disruptive mindset, disruptive leader, dan seterusnya kian menjadi begitu populer dalam kalangan pendidikan tinggi dan masyarakat luas. Seperti diuraikan secara luas oleh Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption, istilah “disruption” mula-mula muncul dalam konteks bisnis, investasi dan keuangan (Rhenald Kasali, 2017). Tetapi kemudian meluas pengaruhnya dalam banyak bidang kehidupan: politik, dunia hiburan, pemerintahan, sosial, kepemimpinan, dan pendidikan.
Di masa sekarang ini, penting bagi masyarakat untuk memiliki kecakapan literasi digital. Terlebih, di masa pandemi ini, hampir semua kegitan dialihkan secara daring. Otomotis, hampir semua kalangan masyarakat menggunakan media digital untuk melanjutkan kehidupan. Tak terkecuali di bidang pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Sayangnya, internet semakin dipenuhi konten berbau berita bohong, ujaran kebencian, dan radikalisme, bahkan praktik-praktik penipuan. Keberadaan konten negatif yang merusak stigma dunia maya saat ini hanya bisa ditangkal dengan membangun kesadaran dari tiap-tiap individu.
Dengan memiliki kecakapan literasi digital, masyarakat dapat memproses berbagai informasi, memahami pesan, dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, bentuk yang dimaksud menciptakan, mengkomunikasikan, mengkolaborasi dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis ketika dalam penggunaan teknologi dalam sehari-hari. Literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis maupun kreatif. Mereka tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital.
Era Revolusi Industri 5.0: Personalisasi
Seiring berjalannya waktu teknologi yang dibuat oleh manusia semakin berkembang. Salah satunya ialah society 5.0 yang digagas oleh Negara Jepang. Konsep ini memungkinkan kita menggunakan ilmu pengetahuan berbasis modern (AI, Robot dan IOT) untuk kebutuhan manusia dengan tujuan agar hidup dengan nyaman.
Society 5.0 sendiri baru saja diresmikan dua tahun lalu, pada tanggal 21 Januari 2019 dan dibuat sebagai resolusi atas revolusi industry 4.0. Konsep resolusi industri 4.0 dan society 5.0 sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang jauh, akan tetapi konsep society 5.0 lebih focus pada konteks terhadap manusia. Jika revolusi industri 4.0 menggunakan AI, dan kecerdasan buatan sebagai komponen utamanya sedangkan komponen society 5.0 menggunakan teknologi modern hanya saja mengandalkan manusia sebagai komponen utamanya.
Konsep society 5.0 merupakan penyempurnaan konsep dari konsep-konsep yang ada sebelumnya. Di mana seperti diketahui, society 1.0 adalah pada saat manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan, society 2.0 adalah era pertanian dimana manusia sudah mengenal bercocok tanam, society 3.0 sudah memasuki era industry yaitu Ketika manusia sudah mulai menggunakan mesi untuk membantu aktivitas sehari-hari, society 4.0 manusia sudah mengenal computer hingga internet dan society 5.0 era dimana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri, internet bukan hanya digunakan untuk sekedar berbagi informasi melainkan untuk menjalani kehidupan.
Dalam society 5.0 dimana komponen utamanya adalah manusia yang mampu menciptakan nilai baru melalui perkembangan teknologi dapat meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia dan masalah ekonomi di kemudian hari. Memang rasanya sulit dilakukan di negarea berkembang seperti di Indonesia, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan karena saat ini Negara Jepang sudah membuktikannya sebagai negara dengan teknologi yang paling maju sebagaimana dikutip dari onlinelearning.binus.ac.id.
Definisi Literasi Digital
Penelitian khusus yang membahas tentang definisi literasi digital dapat kita temukan pada thesis dari Douglas Alan Jonathan Belshaw berjudul What is digital literacy? A Pragmatic investigation. Dalam thesis doktoralnya mengulas secara lengkap tentang konsep pengertian literasi digital. Walaupun di setiap negara memiliki definisi literasi digital yang berbeda-beda karena menyangkut sistem kebijakan dan kemajuan teknologinya, akan tetapi pada dasarnya memiliki konsep dasar yang sama yaitu kemampun dalam menggunakan dan memahami pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi misalnya dalam mendukung dunia pendidikan dan ekonomi.
Bisa dikatakan definisi tentang literasi digital masih dianggap belum final. Dalam artian masih terus akan ada pengembangan-pengembangan kedepannya. Definisi literasi digital itu bermacam-macam. Dalam hal ini dari definisi, istilah sering saling dipertukarkan; misalnya, 'melek', 'kelancaran' dan 'kompetensi' semua dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan untuk mengarahkan jalan melalui lingkungan digital dan informasi untuk menemukan, mengevaluasi, dan menerima atau menolak informasi (Fieldhouse & Nicholas, 2008 dalam Douglas Alan Jonathan Belshaw, 2011).
Salah tokoh yang mempopulerkan istilah literasi digital adalah Paul Gilster yang menerbitkan bukunya pada tahun 1997 dengan judul Digital Literacy. Menurut Paul Gilster (2007) dikutip Seung-Hyun Lee (2014) literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan melalui komputer. Sedangkan menurut Deakin University’s Graduate Learning Outcome 3 (DU GLO3), literasi digital adalah pemanfaatan teknologi untuk menemukan, menggunakan dan menyebarluaskan informasi dalam dunia digital. Literasi digital juga di definisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, menilai, mengatur dan mengevaluasi informasi dengan menggunakan teknologi digital.
Ini artinya mengetahui tentang berbagai teknologi dan memahami bagaimana menggunakannya, serta memiliki kesadaran dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Literasi digital memberdayakan i0ndividu untuk berkomunikasi dengan orang lain, bekerja lebih efektif, dan peningkatan produktivitas seseorang, terutama dengan orang-orang yang memiliki keterampilan dan tingkat kemampuan yang sama (Martin, 2008 dalam Soheila Mohammadyari & Harminder Singh, 2015).
Sementara itu Commmon Sense Media (2009) menyinggung bahwa literasi digital itu mencakup tiga kemampuan yaitu kompetensi pemanfaatan teknologi, memaknai dan memahami konten digital serta menilai kredibilitasnya juga bagaimana membuat, meneliti dan mengkomunikasikan dengan alat yang tepat.
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam literasi digital itu bukan hanya sekedar kemampuan mencari, menggunakan dan menyebarkan informasi akan tetapi, diperlukan kemampuan dalam membuat informasi dan evaluasi kritis, ketepatan aplikasi yang digunakan dan pemahaman mendalam dari isi informasi yang terkandung dalam konten digital tersebut. Disisi lain literasi digital mencakup tanggung jawab dari setiap penyebaran informasi yang dilakukannya karena menyangkut dampaknya terhadap masyarakat sebagaiamana dikutip dari cloudfront.net.
Kompetensi Dasar Literasi Digital
Kompetensi Literasi Digital Berdasar pada arti estimologi kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan atau melaksanakan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Sehingga dapatlah dirumuskan bahwa kompetensi diartikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja menyelesaikan suatupekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa yang ditetapkan (Kemedikbud, 2010).
Gilster (1997) mengelompokkannya ke dalam empat kompetensi inti yang perlu dimiliki seseorang sehingga dapat dikatakan berliterasi digital antara lain (Qory Qurratun A”yuni, 2015):
a. Pencarian di internet (Internet Searching) yaitu suatu kemampuan untuk melakukan pencarian informasi diinternet dan melakukan berbagai aktivitas di dalamnya.
b. Pandu arah hypertext (Hypertextual Navigation) yaitu suatu keterampilan untuk membaca serta memahami navigasi (pandu arah) suatu hypertext dalam web browser yang tentunya sangat berbeda dengan teks yang dijumpai dalam buku teks. Kompetensi ini mencakup pengetahuan tentang hypertext dan hyperlink beserta cara kerjanya, cara kerja web meliputi pengetahuan tentang bandwidth, http, html, dan url, serta kemampuan memahami karakteristik halaman web.
c. Evaluasi konten informasi (Content Evaluation) yaitu kemampuan seseorang untuk berpikir kritis dan memberikan penilaian terhadap apa yang ditemukan secara online disertai dengan kemampuan untuk mengidentifikasi keabsahan dan kelengkapan informasi yang direferensikan oleh link hypertext.
d. Penyusunan pengetahuan (Knowledge Assembly) yaitu sebagai suatu kemampuan untuk menyusun pengetahuan, membangun suatu kumpulan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dengan kemampuan untuk mengumpulkan dan mengevaluasi fakta dan opini dengan baik serta tanpaprasangka. Hal ini dilakukan untuk kepentingan tertentu baik pendidikan maupun pekerjaan sebagaimana dikutip dari eprints.umm.ac.id.
Mahasiswa di Tengah Generasi Digital Natives
Istilah digital native (digital sejak lahir) diperkenalkan Marc Prensky melalui serangkaian artikelnya di tahun 2001 sebagaimana dikutip dari Marcprensky.com, untuk merujuk ke sebuah generasi yang berbeda dari apa yang ia sebut digital immigrants (pendatang digital). Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam cara berpikir dan cara menggunakan pikiran untuk memroses informasi. Anak-anak yang digital sejak lahir terterpa teknologi komputer sejak usia amat dini sehingga Prensky bahkan yakin bahwa otak (benak) mereka berbeda dari generasi sebelumnya.
Sebagai seorang pendidik, Prensky amat risau melihat kenyataan bahwa perbedaan ini tak disadari oleh sekolah-sekolah dan masyarakat secara umum, sehingga sering terjadi kesenjangan antara peserta didik dan pendidik. Tulisan Prensky dianggap oleh Selwyn (2009) sebagai bagian dari upaya pemikir dan ilmuwan untuk mengkaji budaya dan gaya hidup yang khas di kalangan generasi muda.
Istilah-istilah seperti born digital (lahir sudah digital) dan net savvy (fasih berjaringan) ikut meramaikan wacana tentang hal ini; kesemuanya merupakan upaya untuk membuat batas-batas antar generasi, sebagaimana yang misalnya digunakan dalam istilah generation X dan generation Y. Namun seringkali pula wacana ini terkesan berlebihan dan inkonsisten. Selwyn menganggap bahwa konsep digital native tak dapat secara objektif menggambarkan budaya generasi muda dan teknologi yang mereka gunakan.
Banyak klaim Prensky tentang keterampilan dan kefasihan generasi muda dalam menggunakan teknologi komputer tidak didukung oleh bukti-bukti empirik.Sebenarnya Prensky juga mengaitkan digital natives dengan perubahan pada otak, dan merujuk ke penelitian-penelitian tentang syaraf dan kognisi, tetapi ia sendiri bukan ilmuwan di bidang itu. Selain itu, diskusi tentang karakteristik digital native ini juga seringkali diwarnai oleh debat tentang moral dan ideologi sehingga lebih mencerminkan "kepanikan moral” (moral panic) di masyarakat katimbang konsep ilmiah tentang perilaku generasi muda saat ini. Terlepas dari kelemahan metodologis yang melandasinya, konsep digital natives mampu menyadarkan kita tentang perlunya memperhatikan secara lebih seksama bagaimana sesungguhnya perilaku dan tabiat generasi yang lahir bersamaan dengan kelahiran internet dan telepon selular itu.
Dalam konteks pendidikan, isu ini amat relevan jika dikaitkan dengan perubahan dalam keseluruhan cara belajar anak dan remaja, serta kesenjangan antara pendidik serta peserta didik. Sebenarnya, jika membaca dua artikel awal Prensky (2001a, 2001b), jelaslah bahwa kepeduliannya tentang kurikulum dan pola pikir siswa memang beralasan serta patut menjadi perhatian kita pula. Namun dalam konteks Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya, konsep digital natives ini puntak dapat dipakai secara gebyah-uyah untuk merujuk ke perilaku anak-anak dan remaja, mengingat masih ada kesenjangan dan variasi yang amat besar dalam hal akses ke teknologi.
Di lain pihak, pengajaran tentang media, sebagaimana misalnya telah dilaporkan oleh Nash (2007) dengan eksperimen videonya, Crappell (2011) dengan pelajaran musiknya, dan Bittman, M. et al (2011) yang mengkaji penggunaan media dalam pelajaran bahasa di Australia, telah pula menunjukkan perhatian yang khusus di kalangan pendidik untuk mengintegrasikan media ke dalam kurikulum. Sementara di dunia kerja, perhatian terhadap digital natives dan digital immigrants juga telah menjadi bagian dari pengembangan sumberdaya manusia, sebagaimana misalnya yang dibahas oleh Paz dan Berge (2009) dan Vodanovich et al (2010).
Kesemuanya membuktikan betapa luas dan beragam dampak yang ditimbulkan oleh kemunculan dan pemanfaatan teknologi baru, sekaligus juga memperlihatkan bahwa konsep digital natives tidak dapat dikenakan begitu saja secara umum ke segala persoalan dan ke setiap komunitas. Ada berbagai variasi yang disebabkan perbedaan situasi sosial dan budaya.
Namun diperlukan perluasan cakupan, mengingat fenomena digital natives pada dasarnya berkaitan dengan penggunaan media dan moda komunikasi di dalam kehidupan sehari-hari; bukan hanya dengan pencarian dan penemuan informasi. Secara umum dampak dan keragaman persoalan yang ditimbulkan oleh kehadiran dan perubahan cepat dalam media dan teknologi digital ini telah diantisipasi secara global lewat inisiatif badan dunia seperti UNESCO yang telah merumuskan sebuah konsep literasi baru, menggabungkan literasi informasi dan literasi media, sebagai berikut:
Information and media literacy enables people to interpret and make informed judgments as users of information and media, as well as to become skillful creators and producers of information and media messages in their own right(sebagaimana dikutip dari portal.unesco.org).
Jelas terlihat di definisi di atas bahwa informasi dan media adalah dua hal berbeda tetapi harus dilihat dalam satu kesatuan. Selain itu, definisi tersebut juga tak serta merta menganggap perlunya ada pembedaan antar-generasi dalam hal penggunaan informasi dan media, namun yang lebih dipentingkan adalah kepastian tentang pemanfaatan teknologi bagi masyarakat, tanpa mengenal usia dan tingkatan pendidikan. Ini tidak pula berarti bahwa persoalannya menjadi lebih mudah, melainkan malah semakin kompleks. Justru, secara implisit dalam konsep UNESCO tentang literasimedia dan informasi terdapat pengakuan tentang adanya persoalan-persoalan yang muncul dari kesenjangan digital di dalam masyarakat dan perubahan-perubahan budaya yang menyertai setiap perubahan teknologi. Fenomena digital natives tak hanya mencerminkan perbedaan dalam cara menggunakan teknologi digital, tetapi juga dalam tata-nilai yang dipegang oleh penggunanya. Ini bukan lagi persoalan individual di dalam diri si anak atau si remaja, tetapi juga persoalan hubungan mereka dengan orang lain.
Dalam konteks ini, diperlukan sebuah prinsip hidup yang digunakan sebagai bagian dari problem solvingyang muncul akibat fenomena digital natives seperti dijelaskan sebelumnya dimana terdapat perbedaan dalam menggunakan teknologi hingga perubahan tata-nilai yang dipegang. Sebagai mahasiswa (pemuda) yang hidup di tengah generasi digital natives seperti hari ini, dibutuhkan sebuah prinsip hidup yang berbeda tentunya dengan pandangan-pandangan sebelumnya dimana fenomena digital natives ini belum muncul. Sikap dan cara pandang hidup ini terangkum dalam sebuah istilah yang disebuat sebagai idealisme baru mahasiswa. Di bawah ini akan dijelaskan idealisme mahasiswa generasi digital natives.
Idealisme Mahasiswa Generasi Digital Natives
Adaptif
Adaptif sebagaimana dikutip dari KBBI adalah mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Perilaku adaptif merupakan kemampuan sosial dan personal seseorang untuk menyesuaikan diri dengan norma atau standar yang berlaku di lingkungannya. Perilaku adaptif dapat diukur dengan menggunakan skala perilaku adaptif yang meliputi aspek communication, occupation, self direction, socialization, dan locomotion.
Sedangkan definisi perilaku adaptif menururut beberapa para ahli yaitu sebagai berikut: Menurut Kelly (1978) Patton (1986) Reynolds (19887) adalah “The efectiveness & degree to which an individual meets standards of self sufficiency & responsibility for his or her age- related cultural group.” (Perilaku adaptif merupakan kematangan diri dan sosial seseorang dalam melakukan kegiatan umum sehari-hari sesuai dengan keadaan umur dan berkaitan dengan budaya kelompok). Sedangkan menurut AAMD (1983) adalah "The effectiveness or degree with which an individual meets standards of personal independence expected for age & cultural group" (Keefektifan/tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi norma kebebasan pribadi sesuai dengan umur dan budaya kelompoknya).
Menurut AAMD (the American Association on Mental Deficiency) yang dikembangkan Heber (1959, 1961) yang direfisi oleh Grossman (1973, 1977, 1983), ada dua parameter dasar ketunagrahitaan (kebodohan), yaitu: 1) kecerdasaan di bawah rata-rata, 2) gangguan tingkah laku adaptif. AAMD mengindikasikan bahwa masalah pada tingkah laku adaptif dapat dihasilkan dan dihubungkan dengan kecerdasan yang kurang. Hambatan utama tunagrahita yaitu: 1) skor intelligence quotient sebagai indicator fungsi intelektualya berada pada dua standar di bawah rata-rata normal >70 ke bawah, 2) hambatan perilaku non adaptif, 3) terjadi selama perkembangan.
Jadi, sebagai mahasiswa normal yang memiliki seperangkat kemampuan baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor sikap adaptif adalah pilihan tepat untuk menghadapi fenomena digital natives. Semakin mudah kita menyesuaikan diri dengan keadaan maka semakin banyak peluang yang bisa ditangkan dan dimanfaatkan oleh mahasiswa. Hal ini juga berkaitan erat dengan kemampuan literasi digital yang dipunyai mahasiswa.
Sebagai contoh perilaku adaptif di era digital secara umum dalam dunia pendidikan ialah penggunaan media belajar bernama zoom meet, google meet dan berbagai jenis lainnya yang mendasarkan diri pada dunia digital. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari adaptasi pendidikan di masa pandemi Covid-19 di mana sosialisasi sangat dibatasi. zoom meet, google meet dan berbagai jenis lainnya menunjang pendidikan supaya tetap bisa dilaksanakan kendati masa pendemi Covid-19. Mahasiswa merupakan entitas penting di dalam proses adaptasi tekhnologi seperti ini.
Kompetitif
Mengutip apa yang pernah dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim “Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin mutu. Ini hal-hal yang harus segera disadari.” Sedangkan Rocky Gerung juga mengatakan jika “Ijazah itu tanda Anda pernah sekolah. Bukan tanda Anda pernah berpikir.”Hal ini menunjukkan, pada zaman sekarang ini, latar belakang pendidikan tidak lagi menjadi satu-satunya penentu keberhasilan seseorang dalam dunia pekerjaan. Setiap lulusan memiliki kesempatan yang sama dalam kesuksesan, yang terpenting kita mampu menerapkan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan kerja nyata meningkatkan kualitas diri.
Kompetitif adalah sebuah kata yang menggambarkan situasi kerja saat ini. Jika dibandingkan dengan era yang terdahulu, lingkungan kerja saat ini jauh lebih kompetitif. Persaingan yang semakin ketat menuntut kita untuk terus memiliki sikap kompetitif. Di era yang serba maju dan canggih saat ini, orang tidak hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan ijazah. Setiap orang juga berlomba untuk memiliki kelebihan yang jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Beruntungnya, ada banyak fasilitas yang dapat kita manfaatkan, seperti youtube, webinar atau video online lainnya.
Dengan dunia yang semakin kompetitif ini, mahasiswa dituntut untuk tidak boleh berleha-leha dengan gambaran masa depan yang cerah dan mapan tanpa pernah mencoba meningkatkan kualitas diri. Terlebih lagi, mahasiswa yang berada dalam dunia pendidikan memiliki kelebihan dibanding mereka yang berada di luar dunia pendidikan dimana akes informasi yang bersifat ilmiah dan budaya akademik tidak semasif dalam dunia pendidikan. Penujang seperti di atas harus dibaca secara cermat sehingga dunia digital bisa dalam genggaman mahasiswa serta mampu menjadikan peluang kesuksesan di masa depan lebih besar.
Elaboratif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata elaborasi memiliki dua arti. Arti kata elaborasi yang pertama adalah arti kata elaborasi secara umum, yakni penggarapan secara tekun dan cermat. Sementara itu, arti kata elaborasi yang kedua adalah arti kata elaborasi dalam bidang biologi, yakni pembentukan zat-zat kompleks yang merupakan bagian dari tumbuh-tumbuhan atau hewan dari zat-zat yang lebih sederhana (tidak kompleks).
Elaborasi memungkinkan seseorang untuk mampu mencermati dan menganalisis berbagai kemungkinan dari informasi yang telah ia dapatkan saat proses eksplorasi sebelumnya. Pada tahap elaborasi, seseorang dapat mengasah kemampuan kognitifnya dengan melakukan penalaran untuk menarik kesimpulan dari apa yang telah ia eksplorasi. Elaborasi juga berkaitan erat dengan eksplorasi dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Eksplorasi adalah tahapan pembelajaran yang mendorong seseorang untuk aktif mencari tahu berbagai informasi terkait konsep yang sedang dibahas. Informasi yang dimaksud dapat berupa pengertian, teknik, metode dan rumus baru, dan pola hubungan antara sebuah konsep dengan konsep lainnya. Kegiatan eksplorasi memungkinkan seseorang untuk terlibat dalam menelaah hal-hal baru.
Dalam tahap elaboratif seperti dijelaskan sebelumnya, ketelitian akan sangat dibutuhkan mahasiswa dalam menggarap suatu proyek seperti misalnya dalam marketing online, pembaruan dunia pendidikan, maupun berbagai jenis pembelajaran. Kemampuan elaboratif merupakan kemampuan berdaya nalar kritis dan selektif dalam menyaring informasi hingga benar-benar bisa membedakan jenis-jenis informasi yang bermanfaat untuk dirinya atau masyarakat.
Kolaboratif
Kolaborasi sesungguhnya merupakan kebutuhan manusia, di mana secara alamiah manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya, bekerjasama, dan saling bantu membantu antar sesama. Demikian juga dalam kegiatan pembelajaran, kolaborasi merupakan suatu keniscayaan. Pada kegiatan belajar konvensional, kolaborasi biasanya dilakukan antar siswa atau guru dalam satu sekolah atau dalam satu kelas yang sama. Namun dengan tersedianya jaringan komunikasi internet, kolaborasi sangat mungkin dilakukan antar sekolah, antar wilayah, bahkan melampuai batas negara.
Pada era teknologi informasi saat ini kita mengenal istilah kolaborasi digital. Istilah ini menjadi salah satu tatanan baru dalam masyarakat digital. Penerapan kolaborasi digital ini menjadi salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap orang di masa kini. Terlebih di masa pandemi Covid-19 saat ini, penerapan kolaborasi digital sangat dibutuhkan berbagai kegiatan bisnis dan mendukung aktivitas masyarakat.Berbagai bentuk kolaborasi muncul di tengah masyarakat, salah satunya adalah jasa transportasi online dan belanja online (e-commerce), hal ini salah satu perubahan dalam penerapan kolaborasi masyarakat digital. Selain itu ekonomi berbagi juga menjadi salah satu bagian dari kolaborasi dalam masyarakat digital.
Berkembangnya teknologi yang begitu sangat cepat mengubah pandangan terhadap persaingan dalam dunia industri begitu sangat ketat. Ini merupakan sebuah ancaman bagi pelaku industri yang belum menerapkan teknologi dalam aktivitas industrinya termasuk dalam melakukan pemasaran atau melakukan transaksi-transaksi di tengah era digital.Banyak sekali terobosan-terobosan yang hadir memberikan kemudahan untuk dunia industri. Seiring berkembangnya teknologi dunia industri dapat mengembangkan teknologi seperti berbagai layanan antar industri, kemudian membuat aplikasi transaksi secara bersama-sama dan memanfaatkan marketplace yang berada pada internet. Ini merupakan salah satu bentuk dari pemanfaatan teknologi untuk melakukan kolaborasi digital.
Disisi lain konsep kolaborasi digital adalah bekerjasama untuk berbagai informasi dan menghasilkan tujuan bersama. Jadi konsep ini memungkinkan menggabungkan beberapa pelaku industri satu dengan yang lain. Beberapa pelaku industri dengan menggunakan sebuah teknologi misalnya aplikasi ataupun perangkat lain yang berkaitan dengan teknologi untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan masing-masing.
Imajinatif
Tanpa imajinasi dapatkan bangsa Mesir membangun piramida? Dengan imajinasi orang-orang seperti Bill Gates dan Steve Jobs, mampu membayangkan bahwa suatu hari nanti terdapat komputer di setiap rumah, dan kini telah terwujud yang tak terbayangkan oleh umumnya orang pada waktu itu. Agaknya imajinasi dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Semua orang membayangkan dunianya dan menafsirkannya melampaui indrawinya. Imajinasi telah memberikan kontribusi terhadap inovasi dan revolusi di seluruh penjuru dunia, untuk sekarang dan selamanya.Imajinatif adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dan sebagainya) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang secara umum.
Imajinasi melibatkan sintetis yang memadukan aspek-aspek dari ingatan, kenangan atau pengalaman menjadi sebuah konstruksi mental yang berbeda dari masa lalu atau menjadi realitas baru dimasa sekarang, atau bahkan antisipasi realitas di masa yang akan datang. Imajinasi umumnya dianggap sebagai salah satu dari "fungsi mental yang lebih tinggi," yang sering diasosiakan juga dengan fantasi, angan-angan, atau bentuk pemecahan masalah secara orisinal yang berbeda dari biasanya.
Imajinasi umumnya sering dianggap sebagai dasar dari ekspresi artistik, dan daya kreatifitas sebagai fungsi mental yang lebih tinggi. Sedangkan imajinasi kreatif adalah pemikiran yang melibatkan daya restrukturisasi, bukan hanya endapan memori semata dari suatu sensasi sensorik. Berfantasi juga sering dianggap sebagai kegiatan imajinasi kreatif yang bersifat kompensasi atau fungsi pelampiasan "pelepasan ketegangan," meskipun hasil dari beberapa penelitian terbaru telah meragukan pendapat ini. Imajinasi kreatif adalah dasar untuk berprestasi di dua alam, yakni alam seni dan ilmu pengetahuan, dan dalam hal ini para pakar telah menganalisis proses kreatif dengan harapan mampu mendorong lebih besar daya kreativitasnya melalui berbagai jenis pelatihan.
Penemuan-penemuan baru tentang fungsi khusus dari belahan otak kanan dan otak kiri telah mengungkapkan bahwa belahan otak kanan merupakan pusat dari berbagai fungsi mental yang umumnya dianggap sebagai pusat kreatifitas, yang erat terkait dengan lompatan intuitif, yakni kemampuan untuk mensintesiskan unsur-unsur yang ada ke dalam bentuk yang baru. Temuan ini telah diterapkan oleh para pendidik yang ingin meningkatkan kreativitas individual para siswa didiknya, baik dalam hal menulis ataupun menggambar. Imajinasi juga sering dikaitkan dengan topik quantum learning dan daya iluminasi lainnya yang acapkali dimiliki oleh orang berbakat jenius.
Agitatif
Agitasi adalah sebuah upaya untuk menggerakkan massa dengan lisan atau tulisan, dengan cara merangsang dan membangkitkan emosi khalayak (Anwar Arifin, 2003). Kegiatan agitasi dimulai dengan membuat kontradiksi dalam masyarakat dan menggerakkan khalayak untuk menentang kenyataan hidup yang dialami selama ini (penuh ketidakpastian dan penuh penderitaan). Tujuannya adalah menimbulkan kegelisahan di kalangan massa. Selanjutnya rakyat digerakkan untuk mendukung gagasan baru atau ideologi baru dengan menciptakan keadaan yang baru.
Kemampuan agitasi merupakan salah satu syarat yang perlu dimiliki mahasiwa untuk menunjang ide, imajinasi dan gagasan supaya bisa terwujud. Dalam dunia digital, agitatif dimaknai dengan konotasi positif dimana proses mempengaruhi seseorang supaya memiliki banyak pendukung. Hal ini bisa dilakukan dengan menulis, membuat konten atau membagikan ide, imajinasi dan gagasan dalam berbagai bentuk di media digital.
Transformatif
Dalam KBBI, Tranformatif adalah bersifat berubah-ubah bentuk (rupa, macam, sifat, keadaan, dan sebagainya). Transformatif dan inovatif menjadi hal yang sangat penting untuk konteks keindonesiaan pada era disrupsi saat ini. Stagnannya kualitas pendidikan nasional dibanding dengan negara-negara berkembang atau negara-negara dalam kawasan Asia Tenggara karena susahnya para pelaku-pelaku pendidikan nasional untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan. Kemalasan untuk keluar dari save zona menjadi tantangan tersendiri bagi yang ingin mencoba membuat inovasi dan transformasi pendidikan di era disrupsi pada lembaganya masing-masing dalam konteks pendidikan nasional.
Sementara transformasi digital itu sendiri adalah penggunaan teknologi untuk mentransformasi proses analog menjadi digital. Kita telah mengalami digitalisasi di semua bidang dalam hidup kita mulai dari jam tangan cerdas sampai asisten rumah tangga berkemampuan kecerdasan buatan. Transformasi digital lebih merujuk pada cara teknologi merevolusionerkan bisnis dengan berbagai bidang teknologi yang baru seperti pembelajaran mesin, data besar, dan internet untuk segala hal. Merek Anda mungkin tidak harus mengkhawatirkan tentang topik-topik berat ini saat ini, namun pastinya Anda harus menerapkan strategi transformasi digital.
DAFTAR PUSTAKA
Savitri, Astrid. (2019),Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0, (Yogyakarta: Genesis)
Kasali, Rhenald. (2017), Disruption: Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Cahya Budi Fajar Hartanto, dkk, (2020). Covid di Mata Dosen: Sebuah Antologi Opini, (Banyumas: Pena Persada)
Arifin, Anwar, (2003). Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi Komunikasi Politik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka)
Referensi Jurnal
https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/
http://eprints.umm.ac.id/
http://www.marcprensky.com/
http://portal.unesco.org/
Post a Comment