Jumat Berkah: Sebuah Kerancuan Logika Penghambaan


Ada sesuatu yang berubah dari suasana salat Jumat di banyak masjid, termasuk di daerah saya. Dulu, sebelum ada tradisi Jumat Berkah, jamaah datang dengan tenang, duduk rapi, mendengarkan khutbah dengan wajah penuh kesungguhan, bahkan terkadang mengangguk-angguk, entah karena paham atau karena hampir terlelap.


Namun kini, ada energi baru. Masjid lebih ramai, parkiran lebih sesak, dan suasana lebih hidup. Jika dilihat sekilas, seolah-olah umat semakin bersemangat menjalankan ibadah. Tetapi seperti banyak fenomena sosial-keagamaan lain, kita juga menemukan paradoks di dalamnya: semakin banyak jamaah, tetapi semakin sedikit yang betul-betul fokus pada ibadah.


Sebabnya? Tentu saja: Jumat Berkah.


Program berbagi makanan gratis setelah salat Jumat ini memang mulia. Tetapi, dengan jujur dan sedikit humor, marilah kita akui, ada beberapa di antara jamaah yang datang bukan untuk khutbah, melainkan untuk kotak nasi.


Bahkan ada yang datang lebih awal bukan karena ingin mendapat saf pertama, tetapi karena ingin mendapat antrean pertama.


Ketika Ibadah Bertemu Logika Antrean


Saya pernah melihat sendiri pemandangan unik ini: muadzin belum selesai membaca doa setelah adzan, tetapi beberapa jamaah melirik-lirik ke arah halaman masjid, memastikan kotak-kotak nasi masih tertutup rapi dan belum diambil orang lain.


Ada pula yang gelisah saat khutbah mulai masuk menit ke 10. Bukan karena khatib berbicara masalah sensitif, tapi karena takut makanan habis lebih dahulu.


Dan yang paling “menggemaskan”: beberapa jamaah yang langsung berlari terbirit-birit untuk berdiri dan mengantri (seakan yakin imam sudah salam atau bahkan mungkin tidak peduli imam mau salam atau tidak), padahal imam baru menoleh ke kanan.


Dalam bahasa komunikasi non-verbal, itu mungkin saja bisa diartikan: “Maaf pak imam, saya menghormati Anda, tapi kotak nasinya lebih penting sekarang.” Atau mungkin bisa jadi lebih buruk dari pada itu.


Fenomena kecil ini sebetulnya menyimpan kegelisahan besar: ketika logika kelangkaan makanan mulai mempengaruhi kualitas ibadah. Tapi sayangnya, logika ini bertahan cukup lama sampai hampir satu tahun ini, bahkan lebih. Seharusnya, setidaknya 6 bulan saja, masyarakat sudah tidak "cultur shock" seperti itu. Tapi, ya sayangnya, logika ini masih bertahan sampai sekarang.


Bukan berarti saya tidak setuju soal Jumat berkah ini, tapi mohon dimanapun itu, perbaiki manajemen pembagian (distribusi) Jumat berkah ini. Satu tahun ini sudah cukup rasanya pemakluman pada orang yang "lebih baik lari dari Tuhan daripada tidak kebagian makanan." Sebuah ironi yang muncul akibat kebenaran (moral) yang tidak ter-manajemen dengan baik. 


Jangan-jangan selama ini kita tidak pernah serius menjadi hamba Allah (abdullah), melainkan terlalu sibuk menjadi hamba pada "apa-apa" selain Allah. Wallahu 'alam. 


Post a Comment

Previous Post Next Post